Home Nasional Bamsoet Usul MPR Kembali Jadi Lembaga Tertinggi Negara

Bamsoet Usul MPR Kembali Jadi Lembaga Tertinggi Negara

Jakarta, Gatra.com - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengusulkan agar MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara. Menurutnya, pengembalian status MPR itu akan menjadi pilihan ideal untuk Indonesia di masa mendatang.

"Idealnya memang, MPR RI dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara sebagaimana disampaikan Presiden ke-5 Republik Indonesia Ibu Megawati Soekarnoputri saat Hari Jadi ke-58 Lemhannas tanggal 23 Mei 2023 yang lalu," kata Bamsoet dalam pidato pengantar sekaligus pembukaan Sidang Tahunan MPR RI, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (16/8).

Sebagaimana diketahui, reformasi pada tahun 1998 silam telah melahirkan perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perubahan itu kemudian menata ulang kedudukan, fungsi dan wewenang lembaga-lembaga negara yang sudah ada, sekaligus menciptakan lembaga-lembaga negara yang baru.

Penataan ulang itu terjadi pula pada MPR. Lembaga yang semula berkedudukan sebagai Lembaga Tertinggi Negara itu bertransformasi menjadi lembaga tinggi negara. Oleh karena itu, MPR tidak lagi menjadi satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat sebagaimana diatur oleh UUD 1945.

Hal itu salah satunya dipraktikkan dalam penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) dalam lima tahun sekali, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 22E UUD 1945, untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, serta anggota legislatif. Pemilu memiliki keterkaitan dengan periode masa jabatan para pejabat publik. Di mana, masa jabatan seluruh menteri anggota kabinet juga akan mengikuti masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, yakni selama lima tahun.

"Yang menjadi persoalan adalah, bagaimana sekiranya menjelang Pemilihan Umum terjadi sesuatu yang di luar dugaan kita bersama?" kata Bamsoet.

Ia kemudian mengatakan, potensi kejadian tak terduga, seperti bencana alam berskala besar, peperangan, pemberontakan, pandemi yang tidak segera dapat diatasi, ataupun keadaan darurat negara yang mungkin saja terjadi jelang pemilu. Kondisi-kondisi semacam itu tentu menyebabkan pelaksanaan pemilu tak dapat terselenggara sebagaimana mestinya. Dengan demikian, maka tidak akan ada nama Presiden dan Wakil Presiden baru sebagai produk pemilu saat itu.

"Dalam keadaan demikian, timbul pertanyaan, siapa yang memiliki kewajiban hukum untuk mengatasi keadaan-keadaan bahaya tersebut? Lembaga manakah yang berwenang menunda pelaksanaan pemilihan umum?" ujar Bamsoet.

Tak hanya itu, ia juga mempertanyakan bagaimana pengaturan konstitusional yang dapat dilakukan apabila terjadi penundaan pemilu di saat masa jabatan para pejabat publik yang lama telah habis. Menurutnya, hal-hal semacam itu memerlukan perhatian lebih, karena UUD 1945 yang saat ini berlaku disebutnya belum memiliki jalan keluar atas potensi permasalahan tersebut.

Pasalnya, kata Bamsoet, MPR saat ini tak lagi memiliki kewenangan untuk melahirkan ketetapan-ketetapan yang bersifat peraturan. Hal itu berbeda dengan posisi MPR sebelum perubahan UUD 1945 yang memungkinkan MPR untuk membuat ketetapan bersifat pengaturan, guna menjadi jawaban apabila terjadi kevakuman pengaturan dalam konstitusi Indonesia.

"Hal ini penting untuk kita pikirkan dan diskusikan bersama, demi menjaga keselamatan dan keutuhan kita sebagai bangsa dan negara," tandasnya.

27