Home Hukum MA Kabulkan Uji Materi PKPU ICW soal Syarat Nyaleg Mantan Napi Korupsi

MA Kabulkan Uji Materi PKPU ICW soal Syarat Nyaleg Mantan Napi Korupsi

Jakarta, Gatra.com - Mahkamah Agung (MA) mengabulkan putusan uji materi Peraturan KPU (PKPU) terkait polemik percepatan mantan terpidana korupsi dalam mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Uji materi tersebut diajukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Saut Situmorang, dan Abraham Samad.

Majelis hakim sepakat bahwa Pasal 11 ayat (6) Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 (PKPU 10/2023) dan Pasal 18 ayat (2) Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2023 (PKPU 11/2023) yang muatannya menambah syarat perhitungan pidana tambahan pencabutan hak politik bagi proses pencalonan anggota legislatif mantan terpidana merupakan pelanggaran hukum karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). 

“Putusan MA ini menggambarkan secara jelas dan terang benderang betapa bobroknya penyelenggara Pemilu dalam menyusun aturan mengenai pencalonan anggota legislatif. Sebab, baik secara formil yang diketahui tidak partisipatif, aspek materiil juga menuai persoalan karena bertentangan dengan UU Pemilu,” kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Sabtu (30/9).

Hal itu juga, kata Kurnia, membuktikan bahwa alasan yang dibuat oleh KPU untuk membenarkan PKPU Pencalonan Anggota Legislatif ini adalah salah dan keliru, bahkan bisa disebut mengada-ada. Dikabulkannya uji materi ini semakin menguatkan sangkaan masyarakat bahwa aturan internal KPU memang benar-benar merugikan masyarakat dan hanya menguntungkan mantan terpidana korupsi.

“Momentum putusan MA yang mengabulkan uji materi para Pemohon kian memperlihatkan buruknya kualitas penyelenggara Pemilu dalam menjunjung tinggi nilai-nilai integritas,” ujarnya.

“Dibatalkannya sejumlah pasal dalam PKPU 10 dan PKPU 11 tahun 2023 semakin memperburuk citra KPU,” imbuhnya.

Kurnia menambahkan, para pemohon menuntut agar KPU segera merevisi PKPU 10 dan PKPU 11 Tahun 2023 dengan menghapus syarat pidana tambahan bagi mantan terpidana yang ingin mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.

“Perubahan PKPU tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD, dan PKPU tentang Pencalonan Anggota DPD juga harus segera dibarengi dengan upaya untuk mencoret calon anggota legislatif yang masih belum memenuhi syarat masa jeda lima tahun bagi mantan terpidana dari daftar calon sementara (DCS),” jelasnya.

“Tidak hanya itu, kami juga mendesak agar jajaran Komisioner KPU untuk meminta maaf kepada masyarakat karena telah keliru dan ugal-ugalan dalam menyusun aturan mengenai syarat pencalonan anggota legislatif,” tandasnya.

Respon KPK

KPK mengapresiasi putusan MA dan ICW sebagai pemohon atas judicial review terkait masa jeda mantan narapidana korupsi untuk ikut dalam kontestasi di Pilkada. Hal ini selaras dengan semangat pemberantasan korupsi untuk memberikan efek jera bagi para pelakunya. Karena harapannya, pelaku ataupun masyarakat menjadi jera atau takut untuk melakukan korupsi.

“Dalam histori penanganan perkara oleh KPK, kami pun seringkali mengenakan tuntutan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik kepada terdakwa jika terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi,” kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri, Sabtu (30/9).

Menurut Ali, pidana tambahan pencabutan hak politik merupakan sanksi yang berakibat pada penghilangan hak politik kepada pelaku, yang bertujuan untuk membatasi partisipasi pelaku dalam proses politik, seperti hak memilih atau dipilih, sebagai konsekuensi dari tindak pidana yang dilakukan.

“Pencabutan hak politik juga memperlihatkan bahwa dalam tindak pidana korupsi yang pelaku lakukan, telah menyalahgunakan kepercayaan publik. Sehingga perlu memitigasi risiko serupa dalam pengambilan keputusan politik di masa mendatang oleh mantan narapidana korupsi,” tuturnya.

“Namun demikian, penerapan pidana tambahan pencabutan hak politik tetap harus dilakukan dengan berdasar pada prinsip keadilan serta penghormatan terhadap hak asasi manusia,” tutup Ali.

50