Home Kolom Optimalisasi Sertifikasi Kompetensi di TNI AD

Optimalisasi Sertifikasi Kompetensi di TNI AD

 

 

 

Oleh:
Mayjen TNI Kunto Arief Wibowo*


Merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) nomor 10 tahun 2018 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), disebutkan bahwa, setiap profesi (bidang pekerjaan) haruslah memiliki pengakuan kompetensi yang kemudian akan dikeluarkan sertifikat kompetensinya. Rujukan pengakuan kompetensi ini adalah Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) ataupun level internasional.

Ketentuan ini mengatur semua profesi yang memiliki kompetensi yang diakui oleh masyarakat. Artinya apapun statusnya, selagi memiliki bidang pekerjaan yang berhubungan dengan kebutuhan masyarakat, harus memiliki pengakuan kompetensi sesuai standar.

Tentu saja, semua unsur akan dikenai aspek ini, dan kompetensi ini melekat pada individu tertentu. Tidak terkecuali prajurit TNI AD, juga dikenakan keharusan memegang lisensi kompetensi sesuai bidang yang dilakoninya.

Melihat pada Undang-undang (UU) Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI disebutkan bahwa, tugas TNI juga mencakup kegiatan operasi militer selain perang (OMSP). Hal ini bisa berupa penugasan penanggulangan bencana alam, pengungsian, optimalisasi layanan pada daerah perbatasan, ataupun bantuan kepada pemerintah daerah.

Dalam melaksanakan tugas ini, maka mau tidak mau anggota TNI harus memiliki keterampilan dan keahlian khusus pada segala bidang. Di tubuh TNI harus punya kemampuan pembangunan secara fisik, seperti keahlian konstruksi dan infrastruktur, penguasaan teknologi informasi, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kemampuan mengajar (khusus di daerah 3 T), termasuk kemampuan komunikasi (jurnalistik dan PR).

Mengapa anggota TNI (khususnya TNI AD) harus punya kemampuan tersebut? Karena memang bidang tugas yang dilakoninya berhubungan langsung dengan realitas persoalan di masyarakat. Ambil contoh, minimnya infrastruktur pada daerah tertentu (seperti jembatan, jalan raya, dan sebagainya) harus diatasi oleh prajurit yang berada di lapangan. Tingginya penetrasi bidang IT, mengharuskan prajurit juga punya kemampuan tersebut. Minimnya tenaga pengajar di daerah 3 T, membuat prajurit juga harus melakoni aktivitas sebagai guru bagi warga. Rendahnya tingkat kesehatan warga, membuat prajurit harus memahami mekanisme layanan kesehatan.

Selama ini, semua hal tersebut dilakoni prajurit sebagai bagian dari perintah tugas. Tanggungjawab sebagai penjaga NKRI memang meliputi semua aspek, dan prajurit harus siap sedia dengan segala kondisi. Selain karena memang dibutuhkan masyarakat, bidang tugas itu juga menjadi bagian integral dalam menunjang dan memperkuat kekuatan penjaga NKRI.

Prajurit yang membangun jembatan di daerah konflik, di Papua misalnya, bukan semata-mata karena kebutuhan masyarakat setempat atau kebutuhan operasional TNI sendiri, tetapi lebih luas lagi karena memang jadi bagian integral dari bingkai pembangunan NKRI.

Seorang prajurit TNI AD yang menjadi guru di daerah pedalaman misalnya, bukan semata-mata karena kebutuhan warga disana, tapi lebih jauh lagi karena memang pembinaan pendidikan adalah bagian besar dari membangun kecintaan pada NKRI. Prajurit TNI AD ada disana, maka mereka harus melakukan itu.

Disinilah terlihat bahwa apa yang dilakukan TNI AD di lapangan adalah realitas kebutuhan karena tugas dan tanggung jawab sebagai pembela negara. Tuntutan dan tanggung jawab sebagai tentara rakyat mengharuskan prajurit melakoni semua hal itu.

Oleh karena itu, ketika kemudian muncul ketentuan mengharuskan adanya sertifikasi kompetensi terhadap bidang profesi yang dilakoni prajurit, maka ini bisa dilihat dalam beberapa sudut pandang. Pertama, ini adalah bentuk jaminan pengakuan negara bahwa apa yang dilakukan prajurit terlindungi dan telah diakui kualifikasinya (termasuk kualitas hasil pekerjaan) sebagai sesuatu yang memang layak dimanfaatkan publik.

Kedua, sebagai sebuah bentuk pengakuan bahwa bidang pekerjaan TNI AD memang tidak terpisahkan dari keterlibatannya dengan masyarakat. Tidak ada prajurit yang terpisah dari rakyatnya, itu filosofisnya. Apapun yang digunakan dan dibuat oleh prajurit, selagi itu berhubungan dengan orang banyak, maka harus pula memenuhi standar kebutuhan rakyat.

Ketiga, sertifikasi kompetensi akan melekat pada individu pemegangnya. Artinya, walaupun seorang prajurit tidak lagi bertugas aktif di TNI karena mungkin sudah pensiun, tetapi ia tetap memegang lisensi yang kemudian bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan orang banyak. Ini lagi lagi menempatkan filosofis bahwa, tentara tak ada matinya. Seragam mungkin sudah ditanggalkan, tapi jiwa keprajuritan tetap ada. Kompetensinya diakui dan itu bisa dimanfaatkan banyak orang.

Apa yang dilakukan oleh prajurit TNI AD, sebetulnya sudah dilakukan jauh sebelum ketentuan sertifikasi diberlakukan. Motif utama para prajurit melakukan itu adalah karena memang bidang tugas. Kalaupun sekarang ada ketentuan sertifikasi maka semangat yang dibawa oleh setiap prajurit tetap pada profesionalitas bertugas. Sertifikasi akan menjadi pelengkap, tetapi bukan sasaran utama.

Melihat pada realitas pelaksanaan sertifikasi kompetensi belakangan ini, tampak beberapa kondisi yang cukup dilematis. Pertama, aturan sertifikasi kompetensi ada pada lembaga sipil. Di sini berlaku berbagai persyaratan dan ketentuan yang menjadi jaminan bahwa seseorang itu memang kompeten di bidangnya. Guna mendapatkan sertifikat ini, serangkaian materi dan seleksi diberlakukan lengkap dengan segala aturan administratifnya.

Prajurit yang menjalani uji sertifikasi kompetensi ini, terkadang terjebak dengan berbagai aturan tersebut, sementara hal-hal seperti ini biasanya berjalan beriringan dengan tupoksi di TNI AD. Sebagai prajurit profesional, output dan outcome adalah yang utama. Proses sesuai SOP tetap dijalankan, tetapi pandangan bahwa yang tertinggi adalah capaian akhir tidak bisa ditawar-tawar. Substansi lebih utama ketimbang administrasi, begitu kira-kira.

Kedua, lembaga TNI AD memiliki perbedaan dengan organisasi sipil lainnya. Dengan tupoksi utama sebagai komponen pertahanan negara, maka karakteristik yang melekat termasuk aturan perundang-undangan juga berbeda. Semangat persatuan, interopability, serta keharusan sinergi, sudah jadi ciri khas.

Kompetensi bukan semata-mata soal teknis, tapi harus berkolaborasi dengan sisi kemanusiaan dan wawasan si prajurit. Percuma seorang prajurit kompeten, tapi tak bisa bersinergi, bergerak sendiri dan bahkan sulit bersatu. Ini sisi yang harus diantisipasi sekaligus ancaman kalau sertifikasi justru mengaburkan semangat itu.

Oleh sebab itu diperlukan beberapa gagasan mendasar untuk menguatkan pentingnya sertifikasi profesi yang khas di kalangan prajurit.

Pertama, harus dipahami bahwa TNI adalah khas dan unik. Prajurit sudah dilatih untuk profesional dibidangnya (kecabangan) masing-masing. Untuk itu, di TNI terdapat mekanisme penyiapan yang sudah dirancang sejak awal. Pendidikan vokasi pada BLK berlangsung rutin. Kompetensi mereka kemudian langsung diujikan dan dipraktekkan di masyarakat.

Kedua, mempersingkat birokrasi pengakuan kompetensi karena pendidikan di TNI sudah memberikan jaminan seorang prajurit kompeten.

Ketiga, melakukan kolaborasi penguatan kompetensi teknis dengan kompetensi non teknis. Bagi TNI, keberhasilan bukan semata-mata mampu menciptakan sesuatu, tetapi lebih penting lagi, mampu dimanfaatkan orang banyak. Ada kolaborasi kuat antara mampu membuat sesuatu dengan mampu mengkomunikasikannya dengan baik.

Ujung-ujungnya adalah mekanisme sishankamrata yang melekat pada aktifitas profesi. Membangun fasilitas di wilayah publik dan menjabarkan nilai persatuan dalam implementasi interopibilty serta sinergitas adalah memperkuat basis sishankamrata. Semangat membangun negara.


*Wakil Komandan Komando Pembina Doktrin, Pendidikan dan Latihan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (Kodiklat TNI-AD)