Home Hukum Pledoi Haris Azhar-Fatia Maulidiyanti jadi “Bancakan” Puluhan Seniman

Pledoi Haris Azhar-Fatia Maulidiyanti jadi “Bancakan” Puluhan Seniman

Jakarta, Gatra.com – Pledoi atau nota pembelaan terdakwa Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti menjadi “bancakan” puluhan seniman lintas bidang hingga akademisi. Mereka mengambil bagian-bagian pledoi Haris-Fatia kemudian membacakannya di ruang publik Creative Hall M Bloc Space, Jakarta Selatan (Jaksel).

Para seniman tersebut di antaranya terdiri dari sutradara dan musikus bergiliran membacakan pledoi kedua terdakwa perkara dugaan pencemaran nama baik terhadap Menko Kemaritiman dan Investasi (Marves) Luhut Binsar Pandjaitan (LBP). Haris dan Fatia akan divonis pada persidangan Senin (8/1) di Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim).

Pembacaan pledoi pada Kamis malam pekan ini (4/1), dimulai oleh solois dan mantan vokalis Banda Neira, Ananda Badudu. Kemudian dilanjutkan oleh sejumlah seniman lainnya, yakni vokalis dan bassist Tashoora, Gusti Arirang; Akbar Sudibyo, Duto Triadjie, Gie Sanjaya, Dania Joedo, dan Ghandiee.

Selanjutnya, Wanda Hamidah, Abdur Arsyad, Arian13, Felencia Hutabarat, Nastasha Abigail, Linda Christanty, Oscar Lolang, Eka Annash, Reza Ryan, Melanie Subono, Dian Tamara, Naz Judge, Berdjan, Nilover Judge, Endah Widiastuti, Nessie Judge, Bivitri Susanti, Wendi Putranto, dan sutradara Riri Riza.

Riri mengatakan, ikut membacakan pledoi terdakwa Haris Azhar karena ini harus dilakukan oleh warga negara. Pasalnya, publik harus paham bahwa kebebasan untuk mengungkapkan pikiran atau pendapat itu merupakan bagian dari kewajiban atau sikap hidup dan budaya yang dilindungi di negeri ini.

“Ini tentu saja tidak harus menuju pada setiap kali ada kasus. Tetapi setiap warga harusnya merasa nyaman mengungkapkan pemikirannya, khususnya orang-orang yang bekerja di bidang seni dan media,” katanya.

Sutradara Riri Riza memberikan keterangan kepada wartawan soal aksi pembacaan pledoi Haris Azhar-Fatia Maulidiyanti. (GATRA/Iwan Sutiawan)

Setiap warga negara harus dilindungi ketika menyampaikan apa yang diyakininya itu dari berbagai konsekuensi yang datang dari penguasa. “Itu sebenarnya motivasi umum yang ada dalam partisipasi saya dan beberapa teman di kegiatan ini,” ujarnya.

Ia menyampaikan, terkhusus dalam acara pembacaan pledoi Haris-Fatia ini agak sedikit istimewa karena melihat Haris Azhar dan Fatia adalah dua orang yang memiliki komitmen terhadap situasi hukum, masyarakat, khususnya hak asasi manusia, dan gerakan-gerakan sosial membela warga di Indonesia dalam waktu yang sudah cukup panjang.

“Saya mengenal secara pribadi dan percaya dengan reputasi mereka sehingga percaya apa yang sedang dialami oleh Fatia dan Haris itu tentu saja secara pribadi menggerakan hati saya,” katanya.

Ia mengungkapkan, ada dua poin yang didapat dari acara ini. Pertama, harus percaya bahwa butuh terlibat dalam isu-isu warga negara, terutama warga yang tertinggal dalam proses pembangunan atau mengalami konsekuensi buruk, misalnya dari pembangunan yang tidak melalui kajian yang mungkin terjadi secara luas di Indonesia, dalam hal ini di Papua.

“Ini peringatan bagi kita yang selalu sibuk, selalu punya banyak hal yang harus dikerjakan dalam berkarya, berprofesi, kehidupan sehari-hari, ekonomi. Kita harus ingat bahwa ada kelompok masyarakat, warga masyarakat adat yang belum beruntung dan mengalami ketidakadilan,” ujarnya.

Kedua, lanjut Riri, solidaritas. Pasalnya, tidak setiap waktu kita hidup dalam kenyamanan, kadang-kadang kita bisa terlibat dalam sesuatu yang konsekuensinya luar biasa, misalnya proses persidangan yang panjang, mengalami persekusi, dan intimidasi.

“Saya pikir sebagai sesama kalangan muda, kita boleh hadir untuk memberikan penghiburan, semangat, dan kekuatan supaya kita tidak terlalu sedih dan berlarut dalam menghadapinya,” kata dia.

Riri mengharapkan majelis hakim membebaskan Haris dan Fatia karena diskusi sinear yang dilakukan mereka didasarkan pada hasil-hasil penelitian atau riset tentang apa yang terjadi di Papua.

“Ya, 8 Januari ini akhir dari semua proses persidangan, saya yakin teman-teman banyak yang mendengarkan prosesnya dan tentu saja argumentasi-argumentasi yang dilakukan, termasuk apa yang saya ikutan baca,” ujarnya.

Menurutnya, itu menunjukkan bahwa sinear itu sebuah sikap atau mengingatkan ada warga yang tertinggal dan proses bisnis yang harus diawasi secara lebih baik. Tidak ada tujuan untuk menjatuhkan dan mengolok-olok seseorang.

“Mudah-mudahan hakim bisa mempertimbangkan itu dan bisa mendapatkan vonis bebas bagi Haris dan Fatia,” katanya.

Kebebasan Berbicara

Senada dengan Rizi Riza, seniman dan aktivis Melanie Subono, menyampaikan hadir dan membacakan pledoi Fatia sebagai langkah untuk mendorong kebebasan berbicara dan berpendapat.

Melanie Subono mengatakan, ambil bagian membacakan pledoi Haris Azhar-Fatia Maulidiyanti untuk mendukung kebebasan berbicara. (GATRA/Iwan Sutiawan)

“Gue di sini bukan mendukung Fatia dan Haris, gue mendukung kebebasan orang berbicara. Sebetulnya kan itu hasil akhirnya. Sebetulnya Fatia-Haris cuman satu nama yang naik ke permukaan. Sebenarnya banyak terjadi di bawah, represif apapun itu, malah makin banyak belakangan ini. Ya kebetulan di sini orangnya Fatia-Haris,” ujarnya.

Ia mengharapkan agar aksi-aksi seperti ini kian banyak untuk memperjuangkan kebebasan berpendapat atau berbicara yang masih terancam dibungkam bahkan dilakukan tindakan represif oleh penguasa, termasuk kepada kalangan seniman dan aktivis.

“Kan seniman sering kena juga. Salah satunya gue yang paling kena gitu-gituan. Yang kita perjuangin bukan Fatia-Haris-nya, kebetulan mereka lagi menjadi corong itu, tapi yang kita perjuangin tujuannya, untuk kebebasan berbicara. Ada ITE itu makin abu-abu semuanya, sangat abu-abu,” tandasnya.

Ia menilai revisi UU ITE yang baru disahkan juga tidak membawa angin segar untuk kebebasan berpendapat karena masih terdapat pasal-pasal karet yang siap menjerat siapapun, termasuk para seniman.

“Kalau gua baca garis besarnya, ya sama, banyak celah. UU ITE itu sama kayak ketentuan pasal tidak menyenangkan, 'karet' banget” ujarnya.

Ia lantas mencontohkan adanya korban kekerasan seksul atau perkosaan yang melaporkan kasusnya ke aparat penegak hukum. Karena tidak ditindaklanjuti, kemudian terpaksa menyampaikannya di medsos. Ini juga terkait ungkapan saat ini yakni no viral no justice.

“Pemerkosanya bebas, kemudian besoknya dia [korban] masuk penjara, pencemaran nama baiknya gimana? Karet banget maksud gua. Ini yang salah satu contoh yang abu-abu,” katanya.

Sedangkan untuk pembagian pembacaan pledoi Fatia, Melanie mengungkapkan, dari awal ingin membacakan bagian tentang hak asasi manusia (HAM). Bagian ini menjadi fokus karena ia memahaminya.

“Jadi gua bisa bacakan dengan hati, gue paham dengan apa yang gua bacakan. Kalau mungkin gua disuruh bacakan ukuran tambang, mungkin gua bisa baca tapi tidak benar-benar paham,” katanya.

Melanie mengungkapkan, dari bagian pledoi Fatia yang dibacakan yang menurutnya sangat bermakna adalah kalimat “Bagaimana orang membangun politik otoritairan tapi ternyata korup dan segala macam, menghancurkan Republik sambil mulutunya berteriak nasionalisme”.

Melanie mengingat betul kalimat tersebut sehingga tidak membaca teks atau naskah ketika menyampaikan bagian tersebut. “Itu menurut gue kalimantnya inti dari semua ini, itu paling ngena,” ucapnya.

Pledoi Jadi Karya Seni

Sementara itu, Haris Azhar menyampaikan, sebelum pledoi dibacakan di PN Jaktim, terlebih dahulu dikonsultasikan dengan ahli bahasa. Ia mendapat banyak revisi dan masukan tentang penulisan dari ahli bahasa tersebut.

Ia menyampaikan terima kasih kepada para seniman dan elemen lainnya yang telah membacakan pledoi tersebut. ”Saya katakan, ini karya seni kolaborasi riil politik dan penegakan hukum di Indonesia dengan satu talenta-talenta seni yang luar biasa dari teman-teman. Ini hadiah awal tahun buat saya," katanya.

Adapun Fatia mendorong para kaum muda termasuk perempuan dan semua elemen masyarakat bahwa semua berhak untuk menyampaikan pendapat atau berbicara, apalagi ketika melihat atau mendapati ketidakadilan.

Gusti Arirang membawakan lagu “Bunga dan Tembok” milik Fajar Merah di akhir acara pembacaan pledoi Haris Azhar-Fatia Maulidiyanti oleh sejumlah seniman. (GATRA/Iwan Sutiawan)

“Kalau melihat ketidakadilan dan tidak berbuat apa-apa, saya anggap kita adalah orang yang lebih jahat dari ketidakadilan itu,” ujarnya.

Fatia juga menyampaikan bahwa hasil riset tidak bisa dipidana karena riset adalah sumber ilmu pengetahuan dan riset terus berkembang atau tidak pernah final. “Kalau riset dipidana, bisa jadi ke depannya kita enggak punya sumber ilmu pengetahuan dan itu sangat berbahaya bagi kita semua,” ucapnya.

Ia mengharapkan ini bisa menjadi momentum semua elemen untuk meningangkatkan soliditas dan solidaritas dalam menolong orang-orang atau kelompok-kelompok yang tertindas. Kalau kita tidak bicara ketika menemukan ketidakadilan maka kita berkontribusi pada ketidakadilan tersebut.

“Saya harap inisiatif-inisiatif semacam ini bisa timbul dan semoga jaring-jaring solidaritas untuk keadilannya juga makin besar, karena rezim yang hari ini kita hadapi bukanlah yang biasa-bias saja, tapi ini Orde Baru dengan gaya paling baru,” ucapnya.

Di akhir sambutannya, Fatia menyampaikan terima kasih kepada para seniman dan semua pihak yang secara sukarela membacakan pledoi dirinya dan Haris Azhar.

“Sangat membut terharu, dari pledoi yang membahas sangat hukum terus tiba-tiba menjadi pameran seni, dikelola oleh orang-orang yang bergiat di bidang seni,” katanya.

Acara pembacaan pledoi tersebut diakhiri dengan pelantunan lagu “Bunga dan Tembok” milik Fajar Merah, putra dari sastrawan dan aktivis Wiji Thukul sastrawan. Gusti Arirang didaulat untuk memimpin pelantunan lagu tersebut.

“Mari kita hantarkan keyakinan kita bahwa tembok kekuasaan harus hancur,” ucap Gusti kemudian mulai membahawak bait pertama lagu tersebut.

Berikut lirik lagu “Bunga dan Tembok”:

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami sendiri

Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!

229