Home Gaya Hidup Membongkar Mitos, Membangkitkan Arsip: Menjelajahi Dramaturgi Postdramatik dalam Teater Dokumenter

Membongkar Mitos, Membangkitkan Arsip: Menjelajahi Dramaturgi Postdramatik dalam Teater Dokumenter

Jakarta, Gatra.com - Goethe-Institut Indonesien mengadakan diskusi bertajuk “Dramaturgi Postdramatik dalam Teater Dokumenter” di Jakarta, Rabu (7/2). Acara ini mengundang narasumber Kai Tuchmann, Akbar Yumni, dan Rebecca Kezia sebagai pembicara.

Kai Tuchmann, dalam buku "Dramaturgi Postdramatik Resonansi antara Asia dan Eropa” mengumpulkan berbagai materi ceramah yang disampaikan oleh para praktisi terkemuka di bidang teater postdramatik dari Asia Timur dari Jerman. Materi-materi ini disampaikan pada tahun akademik 2018/19 di Central Academy of Drama di Beijing, satu-satunya institusi yang menawarkan program studi dramaturgi di Asia.

Kata pengantar buku ini ditulis oleh Hans Thies Lehmann, pencetus istilah dan teori postdramatik. Kolase unik ini memberikan perspektif eksklusif dari sudut pandang orang dalam dalam mengenalkan filosofi artistik dan metodologi kerja teater postdramatik kepada para pembacanya.

Kai Tuchmann (Dok. Goethe-Institut Indonesien)

Pada diskusi yang berlangsung Kai menceritakan isi buku tersebut dan memberikan gambaran mengenai penggunaan dramaturgi postdramatik dalam membuat teater dokumenter. Praktik ini telah dilakukannya di beberapa negara seperti Jerman dan China. “Setidaknya ada empat poin utama dalam buku ini. Yaitu: membongkar mitos, membangkitkan arsip, menciptakan jalinan, dan membuat komunitas sosial”, ucap Kai.

Kai juga menampilkan potongan-potongan video proses pembuatan karya “Happy That You’re Here” dan “Little Society”. Karya pertama dibuat di Jerman dan mengangkat kisah dokumenter di sebuah camp pengungsian. Pada karya tersebut ditampilkan konteks kekinian di mana camp tersebut diisi pengungsi dari Syria dan ditarik mundur ke belakang untuk memunculkan arsip awal berdirinya camp pengungsian ini yang digunakan untuk menampung tentara Jerman yang pulang dari perang dunia ke-2.

Baca Juga: Gelaran FTJ ke-50, Siasat Bertahan Menghadapi Modernitas Teater yang Berjarak

Sementara itu di karya kedua, Little Society, digambarkan bagaimana kehidupan di China pasca kematian Karl Marx dan jukstaposisi mengenai kehidupan masyarakat menengah di sana sekarang. “Karya ini dibawa berkeliling ke beberapa daerah di China dan mendapatkan reaksi yang beragam,” Kai menjelaskan.

Kai Tuchmann menyelesaikan pendidikan dalam bidang penyutradaraan dari Hochschule fur Schauspielkunst Ernst Busch di Berlin. Dia bekerja sebagai dramaturg, sutradara, dan akademisi. la juga merupakan professor tamu di Central Academy of Drama di Beijing di mana ia mengembangkan, bersama dengan Li Yinan, kurikulum untuk program dramaturgi pertama di Asia.

Akbar Yumni dan Rebecca Kezia pada diskusi Dramaturgi Postdramatik di Teater Dokumenter(Dok. Goethe-Institut Indonesien)

Mengutip beberapa sumber, istilah Postdramatic Theatre muncul pada tahun 1999 dari Hans-Thies Lehmann, sebagai upayanya untuk membaca perkembangan teater kontemporer yang terbuka terhadap pengertian-pengertian ‘realitas teater’. Lehmann telah melihat bentuk teater kontemporer macam teater image (image theatre) Robert Wilson, drama non-dramatik nya Peter Handke, Tanztheatre, dan lain sebagainya, yang menandakan sebuah penyimpangan radikal dari definisi klasik dari drama.

Apa yang dilakukan oleh Lehmann adalah melanjutkan karya Peter Scondi dalam membaca perkembangan teater modern. Secara umum pengertian drama dalam konteks postdramatic ini sendiri adalah sebagai sebuah bentuk absolut yang bisa menjadi dengan sadar dari tidak adanya apapun di luar dirinya sendiri.

Baca Juga: Jalinan Kusam di Lemari Sosi Membuka Helateater 2023

Sebelum diskusi, Indonesia Dramatic Reading Festival (IDRF) dan Konferensi Pertunjukan dan Teater Indonesia bekerja sama dengan Goethe-Institut Indonesien mengundang Kai Tuchmann untuk menjadi fasilitator lokakarya "Dramaturgi Postdramatik di Teater Dokumenter” di Yogyakarta. Lokakarya ini pada 31 Januari-4 Februari 2024 dan diikuti oleh 20 peserta yang memiliki latar belakang beragam, bukan hanya keaktoran atau penyutradaraan teater.

Rebecca Kezia pada diskusi ini memaparkan bagaimana proses lokakarya di Yogyakarta berlangsung dan bagaimana karya-karya yang ditampilkan hasil dari lokakarya tersebut. Adapun Akbar Yumni memaparkan bagaimana praktik dramaturgi postdramatik selama ini telah digunakan dalam karya-karya teater di Indonesia. Terutama dalam teater yang mengangkat arsip di dalam pementasannya.

148