Home Hukum Pakar Ragukan Independensi KPK Pascaalih Status Menjadi ASN

Pakar Ragukan Independensi KPK Pascaalih Status Menjadi ASN

Jakarta, Gatra.com – Ketua Departemen Riset dan Publikasi Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN), Riawan Tjandra, menilai alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi aparatur sipil negara (ASN) memiliki risiko independensi terhadap pengangkatan, pergeseran, dan mutasi pegawai saat menjalankan tugas.

“Apakah dengan mengalihstatuskan pegawai KPK sungguh akan menguatkan independensi KPK atau sebaliknya? Apalagi menilik realitas sistem hierarkhi yang ketat dalam model kepegawaian ASN,” katanya dalam webinar bertajuk ‘KPK Pascaputusan MK’, Senin (10/5).

Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Revisi UU KPK, kata Riawan, KPK punya situasi relasi organisasi kepegawaian yang egaliter. Hal ini memungkinkan adanya saling check and recheck antarpegawai.

“Seorang pimpinan bisa diawasi oleh internal KPK, yang meski muda-muda tapi ketat sekali dalam melakukan pengawasan. Nah ini yang tidak ditemukan di lembaga lain di luar KPK,” ujarnya.

Lebih lanjut Riawan mempertanyakan terkait kajian kelembagaan sebelum pembuatan UU No. 19 Tahun 2019. Sejauh yang dia tahu, tidak ada kajian kelembagaan yang secara khusus dilakukan, didokumentasikan, kemudian dituangkan dalam naskah akademik untuk menjadi rujukan penyusunan UU No. 19 Tahun 2019.

Namun demikian, dalam penjelasan UU No. 19/2019 tertulis “kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dirasakan kurang efektif, lemahnya koordinasi antarlini penegak hukum, terjadinya pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan staf Komisi Pemberantasan Korupsi, serta adanya masalah dalam pelaksanaan tugas dan wewenang...” dan seterusnya.

“Kalau menurut prinsip logika, saya katakan kalimat ini sebagai petitio principii (begging the question). Sesuatu yang dianggap kesimpulan justru premis yang harus dibuktikan. Mengapa frasa kalimat ini muncul dalam penjelasan UU No. 19 Tahun 2019, kalau memang kajian kelembagaan belum dilakukan?” ucapnya.

Riawan menyebutkan, pernah membaca beberapa kajian kelembagaan KPK yang menunjukkan hasil sebaliknya. Hingga 2019, semua target kinerja KPK tercapai, laporan uang negara yang diselamatkan juga tertera di web, hingga hasil audit organisasi menunjukkan sistem KPK sudah baik.

Nah, saya khawatir, itu tidak dirujuk UU No. 19 Tahun 2019. Kalau tidak, berarti yang terjadi adalah overgeneralization, slippery slop, dan post hoc ergo propter hoc,” ucapnya.

Menilik Putusan MK

Terkait dugaan naskah akademik fiktif saat penyusunan UU No. 19 Tahun 2019, dalam putusan Nomor 79/PUU-XVII/2019, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum. MK menilai sudah ada naskah akademik, tetapi tanggal yang disampaikan di halaman cover tidak bersesuaian.

Pada Selasa (4/5), MK memutuskan untuk menolak seluruhnya permohonan uji formil terhadap UU No. 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Mereka yang mengajukan permohonan uji formil ialah mantan pimpinan KPK, antara lain Agus Rahardjo, Laode M Syarif, dan Saut Situmorang.

“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman.

MK juga menilai penyusunan UU No. 19 Tahun 2019 telah sesuai prosedur, salah satunya UU KPK sudah masuk Prolegnas. MK berpendapat RUU Perubahan UU No. 30/2002 tentang KPK telah masuk Prolegnas 2015-2019 berulang-ulang. Misalnya Prolegnas Prioritas pada 2015, 2016, dan 2019.

Di sisi lain, hakim konstitusi Wahiduddin Adams memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Menurutnya, letak narasi pengesahan dan pengundangan tidak lazim (in casu narasi pengundangan disebutkan lebih dahulu sebelum narasi pengesahan, padahal secara prosedural jelaslah bahwa suatu undang-undang seharusnya disahkan terlebih dahulu baru kemudian diundangkan).

Selain itu, dia meyakini sepenuhnya bahwa fungsi KPK tetap berjalan bahkan lebih baik berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 dibandingkan UU No. 19 Tahun 2019.

714