Home Kesehatan Bunuh Diri di Gunungkidul, Dialami Banyak Usia Produktif di Wilayah Maju

Bunuh Diri di Gunungkidul, Dialami Banyak Usia Produktif di Wilayah Maju

Gunungkidul, Gatra.com - Kasus bunuh diri di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, terbilang tinggi. Selama 2007- 2017 ada 492 kasus. Pada Januari-Mei 2019 ini, ada 14 orang tewas karena bunuh diri.

Pusat Studi Wanita Universitas Ahmad Dahlan (PSW UAD) pun meneliti kejadian ini sejak 2015. Ketua PSW UAD Tri Wahyuni Sukesi menjelaskan, bunuh diri penyebab kematian yang cukup tinggi di dunia. Di Indonesia, fenomena bunuh diri terjadi sekitar 24 kasus setiap 100.000 penduduk.

“Berdasarkan hasil kajian penelitian kami, kasus bunuh diri di Gunungkidul ini memberikan beberapa pandangan yang berbeda dari pandangan umumnya,” ujar Yuni kepada Gatra.com, Jumat (10//5).

Ia menjelaskan, UAD menemukan kejadian kasus bunuh diri di Gunungkidul ternyata didominasi oleh laki laki. Berdasarkan usia juga lebih banyak usia produktif dibandingkan usia non-produktif.

Pada 2015-2017, bunuh diri pada usia di atas 60 tahun memang tinggi yakni 44 persen. Sementara pada usia 46-60 tahun ada 31 persen, 18-45 tahun 24 persen, dan usia kurang 18 tahun ada 1 persen. Namun jika dijumlah, pelaku bunuh diri di usia produktif mencapai 55 persen.

“Hal ini menunjukkan bahwa selama ini pandangan masyarakat tidak tepat terkait dengan rata-rata usia kasus bunuh diri yang diangggap lansia lebih tinggi kasusnya daripada usia produktif,” kata dosen ilmu kesehatan masyarakat di UAD ini.

Selain itu, kasus bunuh diri justru banyak terjadi di kecamatan yang terhitung kecamatan kota dan maju di kabupaten ini. Sepanjang 2015-2017, bunuh diri paling banyak terjadi di Kecamatan Semanu dengan 28 kasus. Kecamatan ini relatif lebih maju dan tak terpencil dibanding sejumlah kecamatan lain di Gunungkidul.

“Ini juga mematahkan anggapan bahwa bunuh diri disebabkan karena faktor geografi yang tidak menguntungkan sehingga secara ekonomi juga tidak menguntungkan,” kata dia.

Dari segi profesi, petani di Gunungkidul paling banyak bunuh diri hingga 70 persen, buruh 25 persen, pelajar 1 persen, dan lainnya 4 persen.

Menariknya, Gunungkidul menjadi sorotan soal kasus bunuh diri karena berkembang mitos pulung gantung.

Ia menjelaskan, pulung gantung adalah suatu cerita rakyat yang menyatakan bunuh diri akan terjadi apabila ada bola api yang jatuh di suatu rumah. Salah satu anggota keluarga di rumah yang kejatuhan bola cahaya itu dipercaya akan bunuh diri dengan cara menggantung diri.

Yuni melanjutkan, masyarakat yang percaya pada mitos pulung gantung akan melakukan prosesi menabuh bunyi-bunyian di malam hari agar pulung gantung tidak mendekati wilayah mereka lagi.

“Semua barang yang dipakai oleh si korban pada saat meninggal gantung diri tersebut akan dimusnahkan untuk menghilangkan kutukan pulung gantung. Bahkan di suatu wilayah korban bunuh diri ini jenazahnya akan langsung dimakamkan tanpa ada prosesi perawatan jenazah,” paparnya.

Di luar mitos itu, ia menekankan, bunuh diri tidak semata mata karena masalah sederhana. “Saat seseorang memutuskan untuk melakukan bunuh diri biasanya mereka sudah mengalami titik keputus asaan paling tinggi di dalam dirinya,” kata dia.

Alasan sebagian besar orang melakukan bunuh diri adalah karena mengalami depresi atau tekanan berat dalam kehidupannya.

Penyebab depresi itu pun bermacam-macam, bisa karena perjalanan hidup yang sulit, ditinggalkan orang yang sangat dicintai, penyakit, kekecewaan yang mendalam, masalah ekonomi, bahkan hinaan dan perisakan atau bullying.

“Hal inilah yang harus dipedulikan oleh masyarakat sekitar karena sebenarnya orang orang yang mengalami depresi hingga mengarah pada percobaan bunuh diri itu membutuhkan orang lain untuk membantunya keluar dari masalah yang sedang dihadapi,” tutur Yuni.

Menurut dia, peran keluarga dan teman sangat penting untuk bisa mengurangi keterpurukan seseorang. Hal ini terbukti saat PSW UAD mewawancarai secara mendalam tiga penyintas bunuh diri di Gunungkidul.

Pandangan masyarakat terkait dengan kesehatan jiwa juga harus diarahkan secara positif. Saat ini di masyarakat kita sering muncul stigma negatif saat seseorang itu mendatangi psikolog, psikiater, atau dokter jiwa.

“Stigma negatif gila sering muncul saat melihat orang datang berkonsultasi dengan para ahli tersebut,” ujarnya.

Yuni mengingatkan stigma ini menjadi pekerjaan rumah bersama. Setiap orang punya masalah dan berhak melakukan konseling dengan siapapun tanpa harus dilekati dengan stigma yang tidak baik.

“Kesehatan jiwa adalah hal sama pentingnya dengan kesehatan fisik, dengan jiwa dan fisik yang sama sama sehat maka kasus bunuh diri lebih besar kesempatannya untuk dapat dicegah,” katanya.

1603