Home Ekonomi Uang Kuno Penanda Sejarah

Uang Kuno Penanda Sejarah

Oeang Republik Indonesia memiliki nilai sentimentil tersendiri karena mewakili sejarah bangsa. Kurang diminati kolektor, akibat pemalsuan. ORI nominal Rp 600 paling dicari. 

GATRAreview.com - Lantai dua perpustakaan pribadi Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon, itu layaknya tempat penmpanan harta karun. Fadli Zon Library, yang berada di kasawan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, memang banyak menyimpan barang-barang antik. Dari buku-buku kuno, keris dan tombak dari berbagai kerajaan Nusantara, koleksi prangko sejak pra-filateli awal abad ke-19, serta piringan hitam.

Yang paling istimewa adalah berkotak-kotak uang kuno Nusantara dan Oeang Republik Indonesia (ORI). ''Koleksi saya lebih lengkap dari museum Bank Indonesia,'' kata Fadli kepada GATRA.

Saat ini, ada ribuan uang kuno yang menjadi koleksi Fadli. Mulai uang kerajaan, meliputi kerajaan Sriwijaya, Majapahit, hingga Samudera Pasai, yang diterbitkan tahun 1270. Uang kesultanan di Nusantara pun banyak ia simpan. Ada pula seri uang terbitan VOC dari setiap provinsi dan setiap tahun terbitnya di Nusantara. Selain itu Fadli juga mengoleksi uang perak, uang kapal zaman Hindia-Belanda, 16 jenis uang benggol (1856-1845), serta uang yang beredar di perkebunan.

Fadli mulai serius mengumpulkan uang kuno sejak menjadi mahasiswa. Koleksi uang koin pertamanya ia dapatkan ketika duduk di kelas 4 sekolah dasar. Saat itu Fadli kecil menemukan koin VOC berbahan kuningan dengan tahun terbit 1792. Koin itu ia temukan di penggalian sumur dekat rumahnya.

Menurut Fadli, mengumpulkan uang kuno sama saja dengan mengumpulkan serpihan sejarah. ''Saya tertarik dengan apa pun yang menyangkut sejarah di mana kita hidup. Sejarah Indonesia. Dan uang-uang itu juga menandai suatu periode atau zaman tertentu di mana kita tinggal. Banyak yang tidak ada dalam sejarah, tapi dalam artefak koin itu bisa bercerita banyak,'' tuturnya.

Salah satu yang bisa menandai sejarah bangsa Indonesia itu adalah Oeang Republik Indonesia (ORI). Fadli sendiri memiliki koleksi lengkap ORI, bahkan sejak diterbitkan pemerintah pertama Indonesia, 30 Oktober 1946. Kelahiran ORI, selain sebagai alat pembayaran, juga sebagai pertanda sebuah negara yang telah merdeka. ''Sampai sekarang, setiap tahun terbit saya punya,'' ia memaparkan.

Berbeda dari Fadli yang mengoleksi ORI karena alasan kesejarahan juga nasionalisme, bagi para kolektor kebanyakan, yang suka memperdagangkan uang kuno, ORI justru kurang diminati. ''Soalnya susah dibedakan uang asli atau palsu,'' kata Sugiarto, seorang kolektor uang kuno dari Yogyakarta.

Menurut pengurus Asosiasi Numismatik Indonesia Yogyakarta ini, uang ORI, terutama pecahan 1945, memang sering dipalsukan, karena nilai historisnya. Untuk menilai asli atau palsu, ORI harus diamati secara teliti. Misalnya, ORI Rp 10, setelah dicetak dan diamati lewat kaca pembesar, garis-garis pada gambar rupanya putus-putus. ''Itu palsu,'' Sugiarto menerangkan.

Ciri lainnya, ORI dicetak dengan kertas tebal, bukan kertas mata uang yang dikenal. Ini terutama terjadi pada pecahan keluaran 1948, yang diakuinya sungguh langka. Sugiarto biasanya mendapat ORI dari sesama kolektor, atau mendapatkan dari pemilik uang lawas yang menjual kepadanya.

Harga uang lawas itu bervariasi. Pecahan Rp 100, misalnya, dijual Rp 500.000 hingga Rp 600.000. Pecahan Rp 1 hingga Rp 10 biasanya dihargai Rp 50.000, tapi umumnya tergantung pada kondisi. Kolektor biasanya menyimpan barang koleksinya dan baru laku dua tahun hingga tiga tahun sejak pembeliannya. Karena itu, beda harga beli dan harga jual bisa 100%. Meski kadang juga, ''Semakin mahal harga belinya, keuntungan ketika dijual semakin kecil,'' kata Sugiarto.

Sugiarto mengaku lebih sering menjual koleksinya ke orang asing. Kolektor lokal enggan mengoleksi ORI. Selain rawan palsu, ada pula alasan lain: ''Cetakan ORI kurang bagus.'' Masalahnya memang penerbitan itu di awal kelahiran republik. Menurut Sugiarto, baru setelah pemerintahan Republik Indonesia stabil, ORI dicetak di Prancis dan kemudian di Belanda pada 1952.

Meski tidak menarik bagi kolektor, ternyata ada juga ORI yang paling diburu. Bahkan harganya juga tinggi. Ahli numismatika, Alim Artadjaja Sumana, menceritakan, ada satu seri ORI yang dicetak pada tahun 1946 tapi entah kenapa tidak jadi diedarkan, yaitu ORI dengan nilai nominal Rp 600. Lembar yang satu ini dicetak berwarna hijau. Karena tak jadi beredar, seri ini menjadi incaran kolektor. Pada 2003 silam saja harga satu lembarnya yang mulus mencapai Rp 40 juta.


Mira Febri Mellya, Flora Libra Yanti, dan Arif Koes Hernawan (Yogyakarta)

 

Suvenir Uang Ala Beringharjo

ORI Pertama Koleksi Alim Artadjaja Sumana (GATRA/dok)

Sugiarto, ahli sejarah uang dari Yogyakarta punya usaha nyeleneh, yaitu membuat hiasan berbahan uang. Bentuknya bermacam. Saat GATRA bertandang ke rumahnya di Ketandan Wetan, sebelah utara Pasar Beringharjo, Yogyakarta, ada hiasan berbentuk kapal dan masjid di dalam pigura. Semua hiasan ini dibuat dari gulungan dan lipatan uang kertas, selain dari uang logam. Namun, pria keketurunan Tionghoa ini tidak mau hanya jualan uang kuno, ia juga berinovasi. Produk suvenir dari uang ini biasanya diperlukan konsumen untuk kado atau hadiah.

Sugiarto mematok karyanya dengan harga bervariasi. Ditentukan tingkat kesulitan dan nilai uang sebagai bahan. Kisarannya Rp 000 sampai Rp 1,5 juta. Harga tertinggi ini untuk karyanya berbentuk kereta kencana dan tokoh wayang. "Kesulitannya tinggi,'' ujar pria 62 tahun ini.

Namun dari harga itu, menurut dia, ia biasanya hanya mengambil jasa Rp 300.000. Selebihnya digunakan sebagai harga bahan uang itu sendiri. Apalagi jika uangnya uang lama, harganya kian tinggi. Kondisi uang lama juga menentukan harga. Jika kondisi bagus, bersih dan tidak ada lipatan, harga bisa tinggi. Sebaliknya, kalau uang itu kotor, harga jatuh. ''Susah jualnya,'' katanya. Sugiarto mengaku tak kerepotan mendapatkan pasokan uang lama. Koleksinya datang dari sesama penjaja uang kuno yang ada di sekitar rumahnya.


Arif Koes Hernawan