Home Ekonomi Kedaulatan Pangan VS Ketahanan Pangan

Kedaulatan Pangan VS Ketahanan Pangan

Pemerintah telah membuat road map swasembada pangan hingga tahun 2045. Namun sampai saat ini, banyak komoditas pangan masih impor. Apakah road map tersebut menjamin kedaulatan pangan atau sekadar untuk ketahanan pangan?

GATRAreview.com - “Bukan Lautan Hanya Kolam Susu’ itulah ilustrasi Koes Plus dalam sebuah lagu untuk menggambarkan betapa gemah ripah loh jinawi bumi pertiwi ini. Bahkan saking suburnya tanah air, tongkat kayu jika ditancapkan ke tanah bisa jadi tanaman. Namun lagu itu hanya menjadi cerita masa lalu ketika kita berhadapan dengan realita saat ini.

Kesuburan alam negeri tidak sebanding dengan kemakmuran rakyatnya. Kesejahteraan petani semakin tergerus. Rakyat masih sulit mendapat kebutuhan pokok dengan harga terjangkau. Produk pangan impor masih membanjiri pasar yang mengancam keberlangsungan produk lokal. Di samping masih terdapat penguasaan pangan oleh segilintir pihak yang bisa membuat harga pangan melonjak, karena sepenuhnya dikendalikan mekanisme pasar.

Pangan adalah hal yang sangat sensitif karena menyangkut hajat hidup orang banyak, yang dijamin dalam UUD 1945 untuk meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menyikapi kondisi tersebut, pemerintah melalui kementerian terkait, tengah berjuang keras mewujudkan kebijakan pangan untuk rakyat. Sesuai amanat UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, pemerintah wajib menjamin ketersediaan pangan bagi rakyatnya secara merata dengan harga terjangkau dan bermutu.

Di Indonesia, masalah pangan ini melibatkan banyak pengambil kebijakan dari beragam kementerian atau instansi pemerintah. Sebut saja, kementerian pertanian yang berperan dalam peningkatan kapasitas produksi pangan dan kesejahteraan petani. Kementerian perdagangan sebagai pengambil kebijakan ketersediaan dan pendistribusian pangan serta Bulog dengan fungsinya pengendalian harga pangan agar tetap terjangkau masyarakat.

Dalam pengambilan kebijakan sektor ini masih terjadi konflik antar instansi pemerintah. Seperti yang terjadi pada tahun 2018 silam, ketika Kepala Bulog Budi Waseso memprotes keras langkah Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukito yang melakukan impor pada saat stok beras di gudang Bulog masih cukup. Demikian juga klaim dari Kementerian Pertanian yang menilai produksi beras tahun 2018 surplus, tetapi Kementerian Perdagangan tetap mengimpor, sehingga dikuatirkan membuat harga beras petani lokal tidak bisa bersaing.

Ketika terjadi masalah antar lembaga yang berwenang ini, tugas Menko Perekonomian sebagai koordinator menjembatani untuk mencarikan solusi. Menurut pengamat pertanian Khudori, munculnya konflik lembaga terkait masalah pangan nasional tidak bisa dihindari karena peran masing-masing instansi yang berbeda. Dia menyarankan dibentuknya Kementerian khusus Pangan sebagai instansi yang fokus mengelola pangan dari hulu ke hilir.

Namun ternyata Menteri Pangan di Indonesia bukan sesuatu yang baru. Pada masa Orde Lama tahun 1947, sewaktu kabinet Amir Syarifuddin I sudah dibentuk Menteri Negara Urusan Pangan yang kala itu dijabat oleh Suja’as. Kemudian pada masa pemerintahan Orde Baru, saat Kabinet Pembangunan IV tahun 1993, juga sudah ada Menteri Muda Urusan Pangan yang dijabat oleh Ibrahim Hasan sekaligus merangkap sebagai Kabulog.

Dudun Parwanto