Home Ekonomi Rumah Knock Down PUPR

Rumah Knock Down PUPR

Pembangunan rumah Risha (GATRA/Arif Koes Hernawan/yus4)">

Jakarta, GATRAreview.com - Namanya terdengar feminin: Risha. Tapi jangan keliru, Risha yang di maksud kali ini bukan lah nama perempuan. Melainkan akronim dari Rumah Instan Sederhana Sehat. Rumah yang mengusung konsep knock down alias bongkar pasang. Membangunnya sangat praktis, cukup menyambungkan panel-panel beton dengan mur dan baut. Tak perlu batu bata dan adukan semen

Rumah bak permainan lego ini hadir sebagai jawaban atas kebutuhan rumah yang masih tinggi. Data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menunjukkan, hinga Desember 2017, angka selisih pasokan dengan kebutuhan rumah di Indonesia sekitar 11,6 juta unit rumah. Salah satu penyebab masih banyak keluarga belum punya tempat tinggal adalah harga rumah yang terus melambung. Di sinilah keberadaan Risha terasa menolong, karena harganya ramah di kocek.

Biaya ½ Harga

Untuk rumah Risha tipe 36, misalnya, hanya butuh Rp 50 juta. Setengah dari harga pembuatan rumah standar tipe sama, yang berada pada kisaran Rp 100 juta. Harga rumah Risha bisa ditekan karena selain bahan dasar murah, juga waktu pembuatan lebih singkat dibanding rumah konvensional.

Risha adalah hasil karya inovasi para peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemukiman di Kementerian PUPR. Rencananya, tahun ini, Pemerintah Kota Solo dengan mengandeng PUPR, membangun Risha di pemukiman rumah susun sewa (rusunawa) Semanggi, Solo, Jawa Tengah.

“Rencana dibangun tiga lantai. Lantai dasar rumah konvensional, dua lantai di atasnya pakai Risha,” kata Yudha Pracastono, Ketua tim peneliti Risha, PUPR kepada GATRA, Kamis pekan lalu.

Gunakan Tiga Jenis Panel

Material utama Risha berupa struktur beton bertulang prefabrikasi yang terbuat dari beton berkualitas dan berstandar SNI. Ada tiga jenis panel dengan masing-masing panel bobotnya kurang dari 50 kilogram. Panel inilah yang dirangkai sebagai dinding rumah. Kebutuhan panel menyesuaikan bentuk dan ukuran rumah. Panel ini dapat dipesan atau dibuat sendiri lewat alat pencetak.

Yudha menjelaskan, teknologi Risha diklaim memiliki sejumlah keunggulan. Selain tahan goyangan gempa, teknologi ini memiliki kemudahan dalam penjaminan mutu karena proses produksinya yang masal.

Dari sisi konsumsi material bangunan, teknologi ini lebih hemat material bangunan. Hanya mengkonsumsi sekitar 60% material bangunan dibandingkan dengan teknologi konvensional. “Sehingga teknologi ini lebih ramah lingkungan, hemat sumber daya alam, hemat energi, hemat pemeliharaan, hemat waktu,” terang Yudha.

Tak Ada Gading Yang Tak Retak

Tak ada gading yang retak, demikian pula dengan teknologi Risha. Yudha mencatat Risha memiliki beberapa kelemahan. Denah rumahnya sangat kaku karena komponen bangunan mengacu pada ukuran modular atau terstandar. Yakni ukuran kelipatan 3 meter dan 1.5 meter. Sehingga bila memiliki lahan dengan ukuran di luar ukuran modular akan mengalami kesulitan dalam pengerjaannya.

Kelemahan lainnya struktur bangunan Risha yang menggunakan beton keras sehinga memasang paku di dinding akan sulit. Ukuran struktur bangunan juga kurang tinggi yang membuat ruangan menjadi sempit. Selain itu, bila membangun Risha hanya satu unit, biayanya mahal karena harus berinvestasi membuat cetakan panel.

“Pembuatan produk atau komponen Risha membutuhkan mesin khusus,” kata Yudha. Alumnus Universitas Gadjah Mada itu menyarankan pembangunan Risha dilakukan secara masal. Minimal sekitar 500 unit untuk tipe 21.

Risha di Kampung Deret

Meski masih ada kelemahan, teknologi yang dirintis PUPR sejak 2004 silam ini, telah banyak membantu penyediaan rumah bagi masayarakat kurang mampu di Indonesia. Contohnya, Risha yang dibangun di Kampung Deret, Petogogan, Kebayoran, Jakarta Selatan.

Sebelumnya, kampung deret merupakan perkampungan kumuh. Namun, pada 2014, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyulap kampung kumuh menjadi kampung deret. Rumah warga yang awalnya sebagian besar terbuat dari papan, diganti menjadi rumah beton Risha.

Dari pantauan GATRA, Kamis pekan lalu, ratusan unit Risha dibangun di empat Rukun Tetangga (RT). Mintarsih, pemilik rumah Risha yang juga Ketua RT 11, merasakan bagaimana perubahan yang terjadi di tempat tinggalnya. Ibu tiga anak ini menempati Risha dua lantai berukuran 3x 9 Meter. Sebelumnya, ia menempati rumah sederhana yang terbuat dari kayu dan seng.

Kini, setelah ada Risha, ia tak lagi khawatir jika datang hujan deras bahkan gempa. “Waktu sempat ada gempa di Sukabumi Desember lalu, tidak terasa ada getaran. Inikan bangunan tahan gempa,” kata Mintarsih kepada Riana Astuti dari GATRA.

Risha di Perkampungan Nelayan

Risha juga digunakan PUPR untuk menyulap perkampungan nelayan di Desa Kedungmalang, Kecamatan Kedung, Jepara, Jawa Tengah yang tadinya kumuh menjadi kampung deret. Menurut Kepala Desa Kedung Malang Razikin, pemerintah telah setuju membangun 200 unit Risha di Kedung Malang.

Pembangunan termin pertama sebanyak 40 unit, pada akhir 2016. Termin kedua dimulai pada Februari 2017, sebanyak 50 unit. “Kami tidak ragu kekuatan bangunannya karena pasti sudah diuji pemerintah. Pemerintah desa siap membantu,” ujar Razikin kepada GATRA.

Ada juga proyek Risha di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Di daerah perbatasan Indonesia dengan Timor Leste ini ada tiga desa yang menjadi lokasi perumahan Risha. Rinciannya, Desa Silawan dibangun 100 unit, Desa Dualaus 135 unit, dan Desa Fatuketi 50 unit.

Total ada 285 unit. Desa-desa ini sekitar 25 kilometer dari pusat kota Atambua dan 5 kilometer dari pos batas luar negeri Timur Leste. “Risha juga memperkuat kebanggaan masyarakat Indonesia di perbatasan,” kata Yudha.

Cocok Juga Untuk Rumah Komersial

Selain membangun rumah untuk masyarakat kurang mampu, teknologi Risha juga digunakan untuk membangun perumahan komersial. Untuk itu, PUPR mengandeng para kontraktor atau aplikator untuk mengaplikasikan teknologi Risha.

Menurut salah satu aplikator, Basuki proses pemasangan panel-panel Risha relatif cepat. Dibandingkan dengan rumah konvensional biasa, setengah dari waktu yang dibutuhkan. “Umpama rumah biasa itu tiga bulan atau lebih, saya bisa mendirikan Risha dalam waktu sebulan,” kata Basuki.

Arsitek, Yu Sing Lim mengapresiasi perapan teknologi Risha. Dengan adanya Risha, keterbatasan dana bukan lagi hambatan untuk membangun rumah sehat yang layak huni. Yu Sing mengaku sudah menerapkan Risha di salah satu rumah yang diarsitekinya.

Memang desain rumah harus mengikuti modul Risha yang ada. “Untuk rumah yang tidak terlalu besar masih bisa dipakai untuk ruang-ruang yang dibutuhkan,” ujarnya kepada Dewi Fadhilah Soemanagara dari GATRA.

Editor : Sujud Dwi Pratisto

 

1250