Home Kesehatan Remaja Percaya Ciuman Bikin Hamil, Ini Sebab & Solusinya

Remaja Percaya Ciuman Bikin Hamil, Ini Sebab & Solusinya

Sleman, Gatra.com - Riset menunjukkan sepertiga lebih atau 38% remaja mengira bahwa berciuman atau berpelukan bisa mengakibatkan perempuan menjadi hamil. Temuan ini menjadi salah satu indikasi bahwa pengetahuan remaja atas topik kesehatan seksual dan reproduksi di Indonesia masih rendah. Orang tua kerap menutup informasi soal itu dari remaja atas nama moral.

Hasil sigi juga menunjukkan 44,7% remaja mengetahui bahwa perempuan bisa hamil saat berhubungan seks untuk pertama kali. Selain itu, sepertiga remaja mengetahui bahwa mereka bisa terinfeksi HIV lewat hubugan seksual yang pertama kali.

Temuan itu merupakan hasil dari riset Global Early Adolescent Study (GEAS) di Indonesia yang mensurvei 4.684 remaja usia 12-13 tahun di Lampung, Semarang, dan Bali, pada Juli 2018 dan Juli 2019.

Selain tentang kesehatan seksual, survei GEAS menyigi tentang lingkungan sekolah yang aman, perundungan, dan kekerasan, hingga sikap mereka mengenai gender, serta kebebasan berpendapat dan mengambil keputusan.

Hasil riset GEAS mengemuka sepanjang International Conference Indonesia Family Planning and Reproductive Health (ICIFPRH) di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, 30 September hingga 2 Oktober 2019.

Untuk kesehatan reproduksi, riset menunjukkan pengetahuan remaja putri lebih rendah daripada remaja putra. Komunikasi antara orang tua dan anak mengenai topik ini juga rendah. Para remaja juga telah mempunyai sikap ketidaksetaraan gender dan tak percaya diri atas perkembangan tubuh mereka.

“Hasil dari GEAS diluncurkan dan didiskusikan pada forum ICIFPRH kali ini. Ada sembilan domain yang diteliti untuk melihat bagaimana anak remaja mengambil keputusan,” ujar peneliti utama GEAS sekaligus Ketua Panitia ICIFPRH Siswanto Agus Wilopo di sela acara itu, Selasa (1/10).

Menurut Siswanto, Indonesia saat ini tidak punya banyak informasi mengenai remaja dan perilakunya. “Dengan GEAS ini kita akan memetakan itu. Tidak hanya melihat intervensinya saja, namun juga melihat perubahan perilaku mereka,” kata peneliti senior Pusat Kesehatan Reproduksi Universitas Gadjah Mada ini.

Display sejumlah riset tentang KB dan kesehatan reproduksi di ajang konferensi internasional KB. (GATRA/Arif Hernawan/ar)

Salah satu program untuk menjawab minimnya pengetahuan remaja akan kesehatan reproduksi adalah Setara (Semangat Dunia Remaja) yang dikembangkan lemabaga Rutgers WPF Indonesia.

Program pendidikan reproduksi secara lengkap ini dipimpin oleh guru untuk siswa kelas 7-8 SMP. Konten kurikulumnya telah disesuaikan dengan perkembangan remaja di sejumlah lingkungan berbeda di Indonesia.

Dalam jangka panjang, program ini bertujuan mencegah kehamilan yang tak diinginkan, infeksi HIV dan penyakit menular seksual, dan kekerasan berbasis seksual dan gender. Selama 15 tahun, program Setara diterapkan di 29 sekolah di enam provinsi. “Pendidikan Setara awalnya diluncurkan pertama kali oleh UNESCO dan sudah terbukti di Afrika,” kata Siswanto.

Kepala Perwakilan Rutgers WPF Indonesia Amala Rahmah menjelaskan program Setara sudah melakukan banyak penyesuaian dengan sosial dan budaya di Indonesia.

“Salah satunya yang sering dikhawatirkan seakan-akan melakukan legalisasi LGBT (lesbian, gay, bisexual, transgender), padahal sesungguhnya yang dibahas lebih komprehensif, seperti meliputi pola pertemanan, mengelola emosi, dan perencanaan masa depan,” katanya.

Menurut dia, remaja sebenarnya ingin mengakses informasi tentang kesehatan reproduksi. “Namun sering kali orang dewasa menutupnya atas nama moral. Orang dewasa ini memiliki peranan yang sangat besar untuk menjadi model dan membagi informasi,” ujar Amala.

Suara dari anak muda datang dari Ni Luh Eka Purni Astiti asal Bali. Menurut Eka, melalui riset GEAS dan Setara, harapan remaja sudah diungkapkan, tapi menghadapi masalah komitmen dari orang dewasa untuk memenuhinya.

“Bukan berarti kami memaksa orang dewasa mengikuti gaya anak muda. Namun setidaknya memahami selera anak muda, dekat dengan kehidupan mereka. Libatkan anak muda dalam program-program remaja sejak dari tahapan desainnya. Meskipun mungkin remaja tidak memiliki pengalaman yang dimiliki oleh pakar, ketika sesuatu itu tentang remaja sendiri sudah sewajarnya remaja dilibatkan,” tuturnya.

Modul, buku, dan kartu permainan untuk keluarga dan remaja tentang kesehatan reproduksi. (GATRA/Arif Hernawan/ar)

Upaya pelibatan remaja dalam memahami hak seksual dan kesehatan reproduksi juga ditempuh oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan Johns Hopkins Center for Communication Program (JHCCP) melalui cara sederhana di tingkat keluarga.

Melalui program 1001 Cara Bicara, BKKBN menyiapkan buku, buku elektronik, vlog berisi tips-tips singkat, dan sejumlah aplikasi digital, hingga kartu permainan. Kartu ini berisi sejumlah pertanyaan seputar pengalaman keluarga dan remaja, termasuk menyangkut hal-hal yang bersifat pribadi.

Kartu ini dapat dimainkan oleh anggota keluarga; ayah, ibu, dan anak remaja . Secara acak, kartu diambil dan salah satu anggota keluarga wajib menjawab pertanyaan di kartu tersebut, seperti soal pandangan atas diri sendiri dan relasi dengan lingkungan sekitar, di depan anggota keluarga yang lain.

“Selama ini orangtua sangat bersemangat untuk belajar parenting saat anak masih kecil dan berhenti saat anak semakin besar. Lalu, anak beranjak remaja dan orangtua menjadi bingung karena ternyata tantangannya cukup besar. Karena itulah, 1001 Cara Bicara berusaha untuk menjembatani missing link tersebut,” jelas peneliti JHCPP Dinar Pandan Sari.

Kasubdit Pengembangan Program Bina Ketahanan Remaja BKKBN Asep Sopari berkata Teman sebaya dan keluarga paling berpengaruh aatas pengetahun kesehatan repoduksi remaja.

“Kami sadar betul krusialnya waktu yang dihabiskan bersama di dalam keluarga, termasuk pentingnya melekatkan hubungan emosional orangtua dengan anaknya. Awal tahun ini kami juga telah meluncurkan ‘Gerakan Kembali ke Meja Makan’ sebagai upaya untuk menguatkan kembali fungsi keluarga,” kata Asep.

Melalui edukasi hak seksual dan kesehatan reproduksi sejak dini, terutama dari orang tua dan keluarga, melalui bantuan sejumlah metode dan program tersebut, remaja diharapkan paham atas isu tersebut.

Dengan begitu, pandangan-pandangan keliru seperti ciuman dan pelukan sebagai penyebab hamil seperti ditunjukkan di riset GEAS tersebut tak muncul lagi. Remaja pun mampu mengambil keputusan atas dirinya dan menjalani masa remajanya dengan gembira berdasarkan informasi yang tepat.

8343