Home Politik Pemerintah Diminta Kuatkan Intelijen Ketimbang Terbitkan SKB

Pemerintah Diminta Kuatkan Intelijen Ketimbang Terbitkan SKB

Jakarta, Gatra.com - Anggota Komisi II DPR Fraksi Gerindra, Sodik Mudjahid menilai pemerintah harusnya menguatkan intelijen ketimbang menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) untuk mencegah paham radikalisme terhadap Aparatur Sipil Negara (ASN). Menurut Sodik, SKB yang dikeluarkan dinilai sebagai langkah gegabah dan represif terhadap ASN.

"Ya betul, ini sebuah tindakan represif ya saya kira harusnya tidak usah dengan kelembagaan formal ini. Cukup dengan penguatan intelijen, cukup dengan penguatan aparat keamanan," kata Sodik saat ditemui di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (25/11).

Sodik pun menyinggung kasus penusukan terhadap mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto beberapa waktu lalu di Banten. Ia menyebut pemerintah, terlebih aparat keamanan, harusnya sudah bisa memberikan pencegahan.

"Tapi intelijennya jangan seperti yang sekarang, ketika terjadi penusukan belum pencegahan, tidak pencegahan. Tapi ketika ada penusukan cerita panjang ya kan, 'kami sudah memantau, kami sudah tahu jaringannya' dan sebagainya," paparnya.

Menurut Sodik, harus ada perbedaan pendekatan formal dan demokratis, penegakan aturan dan penegakan intelijen. Pemerintah harusnya memperkuat intelijennya dengan menyiapkan langkah konkrit tanpa harus ada pendeketan formal melalui penerbitan SKB.

"Kemudian masyarakat jadi gaduh dan itu tadi, hak asasi manusia, kebebesan berpendapat, kebebasan menentukan hak politik itu menjadi terganggu," ujar eks Ketua Komisi VIII DPR ini.

Sodik khawatir, efek yang ditimbulkan dari penerbitan SKB itu adalah hilangnya loyalitas dari ASN kepada negara sehingga menurunkan produktivitasnya. Sebab menurutnya, tanpa penerbitan SKB itu, ASN sudah paham bagaimana harusnya mereka bersikap.

"Khawatirnya, produktivitas yang kita harapkan tidak terjadi dan jangan-jangan saya menduga nih akan ada sekelompok ASN yang lebih kritis dan kemudian ini mendorong mereka lebih kritis atau radikal, padahal sebetulnya dengan pendekatan yang tepat mereka akan tetap mengikuti aturan ASN," tandasnya.

Sebelumnya, pemerintah menerbitkan SKB radikalisme pada 12 November 2019 bersamaan dengan peluncuran portal aduanasn.id. Adapun Menteri yang terlibat dalam SKB ini adalah Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Agama Fachrul Razi, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim, dan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate.

Selain itu ada pula Kepala Badan Intelijen Negara Budi Gunawan, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Suhardi Alius, Kepala Badan Kepegawaian Negara Bima Haria Wibisana, Pelaksana tugas Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Hariyono, dan Ketua Komisi ASN Agus Pramusinto.

SKB itu memuat aturan yang harus diikuti oleh ASN agar tidak terjerumus dalam paham radikalisme. SKB ini juga mengatur pembentukan Satgas Khusus yang menangani ASN yang terindikasi terpapar radikalisme.

Selain itu, masyarakat juga bisa mengadukan ke Satgas jika ada ASN yang melanggar peraturan. Berikut 11 jenis pelanggaran dalam SKB yang dilansir dari laman Kementerian Agama:

1. Penyampaian pendapat baik lisan maupun tulisan dalam format teks,  gambar, audio, atau video,  melalui media sosial yang bermuatan ujaran kebencian terhadap Pancasila,  UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah

2. Penyampaian pendapat baik lisan maupun tulisan dalam format teks,  gambar, audio, atau video,  melalui media sosial yang bermuatan ujaran kebencian terhadap salah satu suku,  agama, ras, dan antar golongan

3. Penyebarluasan pendapat yang bermuatan ujaran kebencian sebagaimana pada angka 1 dan 2 melalui media sosial (share, broadcast, upload, retweet, repost, dan sejenisnya) 

4. Tanggapan atau dukungan sebagai tanda setuju pendapat sebagaimana angka 1 dan 2 dengan memberikan likes, dislike, love, retweet,  atau comment di media sosial

5. Pemberitaan yang menyesatkan baik secara langsung maupun melalui media sosial

6. Penyebarluasan pemberitaan yang menyesatkan baik secara langsung maupun melalui media sosial

7. Penyelenggaraan kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi, dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah 

8. Keikutsertaan pada organisasi dan atau kegiatan yang diyakini mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi, dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah 

9. Penggunaan atribut yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah

10. Pelecehan terhadap simbol negara baik secara langsung maupun melalui media sosial; dan/atau

11. Perbuatan sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai 10 dilakukan secara sadar oleh ASN.

133