Home Ekonomi Mengurai Pemicu Gagal Program PSR

Mengurai Pemicu Gagal Program PSR

Pekanbaru, Gatra.com - Duit Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang digelontorkan oleh pemerintah pusat melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) semakin menggiurkan; sejak 1 Juni 2020, angkanya meningkat dari Rp25 juta menjadi Rp30 juta untuk setiap hektar lahan pekebun yang bakal diremajakan.

Masing-masing kepala keluarga pekebun berhak mendapat gelontoran bantuan itu maksimal untuk empat hektar lahan. Bertambahnya nilai bantuan tadi kian memancing para kontraktor berbondong-bondong untuk mencicipi duit itu.

Beragam cara dilakukan biar pekebun mau menjalin kerjasama dengan si kontraktor. Celakanya, kerjasama yang dibikin hanya sebatas pada persiapan lahan dan penanaman tanaman baru (P-0), bukan hingga tanaman jelang menghasilkan (P-3).

Ini terjadi lantaran duit yang pasti ada, hanya cukup untuk P-0 tadi. Kalau kontrak hingga P-3, duit untuk menomboki biaya sumbernya belum jelas. Sebab untuk 'mengawal' lahan dari P-0 hingga P-3 yang butuh waktu sekitar 3,3 tahun, butuh biaya sekitar Rp55 juta per hektar.

Itulah makanya pekebun musti merangkai kata demi mengajukan permohonan pinjaman Kredit Usaha Rakyat (KUR) ke bank yang belum tentu langsung dikabulkan.

Kontrak hanya di P-0 dan urusan bank inilah yang belakangan membikin Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo) Gulat Medali Emas Manurung, gusar.

Sebab menurut ayah dua anak ini, PSR adalah paket pekerjaan kebun sampai pada tahap menghasilkan. Sementara duit yang pasti ada hanya cukup untuk proses P-0.

“Pekebun rentan terseret dalam pusaran kasus hukum lantaran itu tadi, program ini satu paket. Artinya, PSR dianggap berhasil jika P-0 sampai P3 berhasil dilewati, sementara duit yang pasti ada, hanya cukup untuk menyelesaikan seperempat tahapan dan penggunaan duit yang bersumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) itu diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),” kata Gulat kepada Gatra.com, Rabu (17/6) malam.

Kalau kontraktor cuma mau P-0, PSR kata Gulat akan berantakan. Sebab proses tiga tahapan berikutnya belum jelas juntrungannya lantaran duit untuk itu harus dipinjam dulu dari bank. “Iya kalau bank mau, kalau enggak?” Gulat bertanya.

Lelaki 47 tahun ini kemudian mengurai bahwa proses PSR itu ada tiga pola. "Pola pertama adalah swadaya. Semua dikerjakan sendiri. Pola kedua, sebagian dikerjakan oleh kontraktor, sisanya dikerjakan oleh pekebun. Lalu yang ketiga adalah pola kemitraan. Pola yang semacam ini persis sama dengan pola kemitraan kebun inti dan kebun plasma. Pembangunan kebun 100 persen dikerjakan oleh Inti (mitra),” terang Gulat.

Menurut Gulat, di pola pertama dan kedua tadilah PSR sangat berpotensi menjadi berantakan. “Dari hasil survey, 78 persen pekebun memilih pola kedua. Mitra atau kontraktor hanya mengerjakan P-0, selanjutnya P-1 hingga P-3 dikerjakan sendiri oleh pekebun," katanya.

Pertanyaan yang kemudian muncul kata Gulat, semampu apa petani swadaya merawat pohon kelapa sawit yang baru ditanam itu hingga kelak berbuah?

"Itu masih pertanyaan soal kemampuan pekebun. Kalau kita tanya lagi apakah pinjaman dari bank untuk menambah kekurangan duit bantuan BPDPKS sudah dapat? Jawabannya belum tentu. Kalau pinjaman enggak dapat, PSR dipastikan gagal. Sebab sudahlah petani tidak punya ilmu yang mumpuni untuk merawat tanaman, modal untuk itu enggak ada pula. P-1 hingga P-3 akan hancur jika; dana pinjaman tak cair, atau dana pinjaman cair tapi pekebun enggak paham duit itu mau dikemanakan dan tata urutan perawatan kebun tidak pernah diikuti berdasarkan timescedule," Gulat mengurai.

Berharap pada dinas atau bidang perkebunan setempat untuk mengatasi itu kata Gulat, nyaris tidak mungkin lantaran keterbatasan tenaga. Berharap pada tenaga pendamping PSR yang di-SK-kan oleh Dinas Perkebunan setempat juga begitu. Adalah sederet faktor yang membikin kondisinya seperti itu.

Bagi Gulat, bibit kelapa sawit yang baru ditanam sama seperti balita yang rawan terhadap apapun. "Dalam rentang P-1 hingga P-3, potensi bibit yang sudah ditanam, mati, sangat besar. Bibit yang mati pasti harus diganti. Serangan hama penyakit pasti ada lantaran pada replanting, bekas tebangan akan jadi 'inang' bagi kemunculan hama dan penyakit. Begitu juga dengan gulma. Di lahan replanting, gulma bakal lebih cepat tumbuh, makanya harus ada kacangan yang terawat. Kalau tidak terawat, kacangan ini sama saja dengan gulma. Apakah petani swadaya mampu untuk ini?" lagi-lagi Gulat bertanya.

Mantan Rektor Instiper Yogyakarta, Dr. Ir. Purwadi, MS, mengamini apa yang dikatakan Gulat. Bibit kelapa sawit yang ditanam adalah bibit unggul. "Bibit unggul diciptakan respon dengan sarana produksi. Kalau bibit unggul ini tidak diberi perlakuan standar, akan sia-sia saja keunggulannya," katanya.

Biar semuanya tidak menjadi sia-sia kata Gulat, rekanan yang terlibat di PSR harus mau meneken kontrak kerja dari P-0 sampai P-3. "Supaya petani terkawal dan rekanan bertanggungjawab atas suksesnya program PSR itu sampai jelang panen. Untuk itulah dibutuhkan rekanan yang punya kemampuan dan pengalaman manajemen kebun yang mumpuni. Jangan malah tiba-tiba menjadi kontraktor PSR padahal selama ini hanya mengerjakan galian kabel bawah tanah,” sindir Gulat.

Biar rekanan lebih tertib dan hasil kerjanya terukur kata Gulat, sangat dibutuhkan Standart Acuan Rekanan (SAR). Selain rekanan harus mengerjakan paket P-0 sampai P-3, kontraktor juga harus memberdayakan pekebun PSR sebagai tenaga kerja (padat karya). Jadi kekosongan pemasukan pekebun selama P-0 hingga P-3, bisa tercukupi dari hasil kerja di kebun PSR itu.

“Semua pembiayaan terkait P-0 hingga P-3, sudah ada standarnya kok, tinggal menjalankan saja," ujar Gulat.

Kalau SAR dibikin oleh Dirjend Perkebunan secara tegas, Gulat yakin kisruh yang terjadi di sejumlah lokasi PSR tidak akan terjadi. Katakanlah di Kabupaten Tebo, Jambi, atau di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, atau seperti yang di Kalimantan Timur. “Semua contoh daerah tadi, pekebunnya 100 persen memilih PSR pola kedua,” kata Gulat.

Kalau soal tenaga pendamping --- hampir di semua lokasi PSR kekurangan tenaga pendamping professional --- sebaiknya Dirjend Perkebunan dan BPDPKS segera mengambil kebijakan strategis memberdayakan anak-anak petani dan buruh tani yang di beasiswa kan oleh BPDPKS untuk kuliah di 5 perguruan tinggi terbaik bidang sawit.

“Saat ini alumninya sudah mencapai 1.200 orang. Dasar mereka dibeasiswakan kan untuk menjadi petani sawit mileneal generasi ketiga, sebagai pengganti generasi kedua yang saat ini sedang melaksanakan PSR,” katanya.


Abdul Aziz

 

1223