Home Politik Persekutuan Para Mantan

Persekutuan Para Mantan

Sejumlah kalangan dari unsur politisi, akademisi, dan militer membentuk organisasi baru. Menjadi alternatif bagi saluran penyeimbang kala oposisi tidak lagi hadir di parlemen. Tidak menutup kemungkinan menjadi kekuatan politik baru, meski pilpres masih jauh.


Belum sampai pukul 10.00 WIB, Din Syamsudin sudah duduk manis menemani mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo dan Rochmat Wahab sebagai aksen kehadiran NU pada acara deklarasi organisasi yang baru mereka bentuk, Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, Selasa pekan lalu.

Sejak 2 Agustus, organisasi ini sebenarnya sudah mulai digodok. Tak lebih dari 16 hari kemudian bisa terdeklarasi. Din, Gatot, dan Wahab melakukan pertemuan yang kemudian menghasilkan kesepakatan bahwa perlu untuk membuat saluran baru sebagai gerakan moral. Mereka bertiga ini kemudian didapuk sebagai Dewan Presidium KAMI. Beberapa menit kemudian, di bawah patung Soekarno dan Muhammad Hatta, organisasi yang disebut-sebut sebagai oposisi ekstraparlementer ini menyuarakan delapan poin tuntutannya kepada pemerintah.

Din dikenal sebagai salah satu pembesar di Muhammadiyah yang memang kerap melontarkan kritikan kepada pemerintahan Joko Widodo. Padahal, Din pernah dekat dengan pemerintahan ketika menjabat sebagai Utusan Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antar-Agama dan Peradaban. Kala itu, Din mengundurkan diri dengan alasan ingin tetap netral menjelang Pilpres 2019. 

Bahkan, Din pernah ditawari untuk mengisi posisi calon wakil presiden kala itu. "Saya ditanya kesiapan jadi cawapres, ya saya siap. Karena saya tidak mau mengecilkan Muhammadiyah. Masa mantan ketua umum dua periode enggak siap. Itu konteksnya. Namun saya tahu diri, saya bukan orang politik," ujarnya kepada Erlina Fury Santika dari Gatra.

Sementara itu, Gatot yang mantan Panglima TNI terakhir diisukan akan naik gelanggang pilpres bersanding dengan Titiek Soeharto. Kedekatan Gatot dengan trah Soeharto sebenarnya sudah dimulai ketika dia menghadiri acara pembekalan para caleg Partai Berkarya besutan Tommy Soeharto pada akhir Juli 2018 silam. Gatot juga dikenal dekat dengan pengusaha pemilik grup usaha Artha Graha, Tommy Winata.

Selain Din dan Gatot, bercokol pula nama-nama seperti Refly Harun, mantan Komisaris Utama PT Jasa Marga; Said Didu, mantan Sekretaris Kementerian BUMN; Rizal Ramli, mantan Menteri Koordinator Kemaritiman; dan masih banyak lagi deretan nama mantan pejabat yang mengisi barisan deklarator KAMI. Hal ini yang kemudian membuat banyak pihak menilai kehadiran KAMI dilandasi oleh satu kesamaan, kekecewaan, atau bahkan bisa dianggap sebagai sakit hati.

Penilaian ini dibantah oleh Din. Menurutnya, sejak masih memimpin Muhammadiyah, dia memang sudah cukup keras menyuarakan jihad konstitusi, kritik beragam aturan, hingga gerakan antikorupsi. “Itu sudah menjadi sikap dasar. Dan yang lain juga demikian, macam-macam ekspresi dan latar belakangnya tapi tetap kritis. Oleh karena itu, KAMI tidak tersinggung ketika ada yang bilang ini barisan sakit hati. Karena kita tidak punya waktu menanggapi hal-hal seperti itu,” Din menjelaskan.

Arah politik KAMI sebagai oposisi di luar parlemen ini, bagi Din, hanya ekspresi pihak lain terhadap kehadirannya. Tapi, label utama gerakannya bukan hanya menjadi oposan semata. “Semua kelompok yang menkritik pemerintah akan dipahami sebagai oposisi. KAMI tidak keberatan dengan penilaian itu. Walaupun ya, pada batin kami tidak dalam konteks beroposisi sebagaimana kalangan oposisi parlementer,” katanya.

Bagi Din, saat ini ada semacam kondisi leher botol atau bottle neck dalam arus penyampaian pendapat terhadap lembaga negara, maupun partai politik. Sementara, politik ekonomi oligarki mulai dipraktikkan dan nyaris tidak ada lagi nilai-nilai demokrasi. “Begitu dapat kekuasaan itu juga membuka ruang bagi kleptokrasi. Hasilnya kesenjangan. Segelintir orang menguasai mayoritas aset nasional,” papar Din.

Tapi, kesan di balik terbentuknya KAMI memang tak dapat dihindari sebagai aksi ekstraparlementer. Kemunculannya pas ketika semua oposisi di DPR menjadi bagian dari pemerintahan, kecuali PKS. Dan tentu saja ini memicu keras para anggota legislatif. Adian Napitupulu, misalnya, mengarahkan kritikannya soal kebebasan berpendapat di dalam KAMI. Pasalnya, hanya presidium saja yang berhak bersuara mewakili organisasi. 

Selebihnya, jika ada anggota KAMI yang bersuara, hanya dijadikan sebagai pernyataan pribadi. "Sudah dijelaskan dalam jati diri poin kelima tidak boleh seorang pun berbicara ketika tidak berbicara atas nama KAMI ketika tidak melalui dewan deklalator," ujar Adian.

Begitu juga dengan politisi PKB Abdul Kadir Karding, yang menilai secara terang benderang bahwa KAMI hanya barisan sakit hati. “Pendeklarasikan KAMI dapat dimaknai sebagai koalisi orang-orang yang kalah dalam pilpres. Karena kalau melihat daftar nama sebagian besar adalah orang-orang yang kecewa ketika pilpres terdahulu,” ujar Karding kepada wartawan, Rabu pekan lalu.

Tapi, posisi KAMI sebagai oposan non-parlemen ini justru dianggap akan menjadi angin segar bagi demokrasi nasional. Menurut Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI, Firman Noor, KAMI mencoba membuka keran aspirasi masyarakat yang belakangan agak tersumbat. Harapannya, pemerintah mendapatkan asupan yang cukup terkait dengan arah kebijakan.

Pandangan Firman sebenarnya cukup masuk akal. Selama ini, pemerintah kurang mendapatkan kritikan yang mewarnai kebijakannya. "Pemerintah juga nampak tidak ambil pusing, dianggapnya sudah cukup mendapat dukungan dari parlemen," Firman menjelaskan kepada Ucha Julistian Mone dari Gatra.

Sebagai kubu yang bercita-cita ingin mengimbangi pemerintahan, tantangan yang akan dihadapi KAMI ke depan juga akan lebih besar. Seperti mempertahankan eksistensinya. Belajar dari organisasi serupa yang pernah muncul, awalnya memang mendaulat diri sebagai gerakan moral tapi pada ujungnya toh tetap saja menjadi saluran politik atau bahkan semangat di awal dan kendor kemudian.

Selain itu, struktur KAMI diisi oleh orang-orang dengan bobot kualifikasi pemikir. Sayangnya, kata Firman, justru belum memiliki pengalaman dalam implementasi kebijakan yang sifatnya sangat teknis. "Sehingga perlu ada cabang-cabang dalam organisasi untuk menggerakkan langkah KAMI secara konkret. Tanpa itu, gerakan ini hanya sekedar menjadi gerakan elitis. Tanpa kemudian tidak terasa impact-nya di masyarakat,” ujar Firman.

Dari sisi kajian politik, KAMI memang sudah masuk sebagai kelompok penekan yang memang fitrahnya sebagai grup yang melakukan kritikan terhadap kinerja dan kebijakan pemerintah. “Dia bisa mengkritisi pemerintah, menyampaikan opini atau wacana, dan mudah-mudahan itu bisa mempengaruhi para pembuat kebijakan. Sehingga bisa menjadi lebih baik,” Firman melanjutkan.

Meski demikian, Firman tidak menutup kemungkinan jika kelak KAMI akan menjadi kekuatan politik. Itu hal yang lumrah meski perlu banyak tahapan hingga sampai ke sana. Kemungkinan ini pun tidak dimungkiri oleh Din Syamsudin. Baginya, tidak ada pembicaraan di awal pembentukannya untuk mengusung calon presiden atau bahkan menjadi partai politik.

Tapi, jika memang nanti di antara mereka ada yang memenuhi syarat sebagai kepala negara, Din pun dengan tangan terbuka mempersilakan. “Ya, tentu lewat mekanisme konstitusi, seperti parpol yang mengusungnya boleh jadi. Tapi sebagai KAMI, tidak ada pembicaraan, tidak untuk ke sana,” ia menjelaskan.

Din boleh saja mengklaim tidak ada perbincangan politik, tapi di dalam KAMI juga diisi oleh kalangan politisi yang sebelumnya juga menjadi pendukung pasangan Prabowo-Sandi pada 2019. Tapi, Din berkilah bahwa tidak semua anggota KAMI merupakan pendukung Prabowo.

Meski memang mayoritas diisi oleh tim kampanye capres yang kini menjadi Menteri Pertahanan itu. "Tidak ada dari motif sebagai pendukung pasangan capres tertentu yang kalah, tapi lebih ke idealisme yang melihat pemerintah Jokowi satu periode sebelumnya tidak benar," Din memaparkan.

Lalu, terkait dengan pendanaan, meski masing-masing Presidium KAMI memiliki kedekatan dengan kalangan pengusaha, Din keukeuh bahwa organisasi ini dibangun atas dasar saweran. “Belum [ada pendanaan]. Ini saweran dari orang per orang saja. Saya enggak termasuk karena saya bukan orang berduit,” ujarnya.

Aditya Kirana