Home Teknologi Tak Perlu Didaki, Merapi Terpantau Lewat Drone dan Satelit

Tak Perlu Didaki, Merapi Terpantau Lewat Drone dan Satelit

Yogyakarta, Gatra.com – Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta menyebut pemantauan aktivitas Gunung Merapi sudah menggunakan teknologi canggih. Metode ini berbeda dengan cara sebelumnya yang hanya melalui pantauan secara kasat mata, bahkan harus melihat Merapi dari lereng Gunung Merbabu.

Kepala Seksi Gunung Merapi BPPTKG Agus Budi Santoso mengatakan pemantauan secara visual merupakan metode pemantauan tertua terhadap Merapi. Menurutnya, BPPTKG memiliki dokumen foto seorang ilmuwan Belanda tengah memantau aktivitas vulkanik Merapi.

“Di dalam dokumentasi kami ada sebuah foto lama yang menunjukkan saintis dari Belanda yaitu Junghun mengamati Merapi dari lereng Merbabu. Gambar diambil pada tahun 1836, barangkali pemantauan visual sudah dilakukan jauh sebelum itu,” kata Agus di siaran langsung Youtube BPPTKG Channel, Sabtu (28/11).

Menurut Agus, pada zaman dahulu petugas melakukan pengamatan visual Merapi berupa kolom asap, titik api, alterasi batuan, lava pijar, awan panas, dan perubahan morfologi. Selain itu, pengamat juga menggambar sketsa morfologi puncak secara berkala sehingga perkembangan aktivitas dapat diketahui melalui sketsa tersebut.

Agus berkata, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kemudian membuat pemantauan visual dilakukan lewat fotografi.

Apalagi saat ini terdapat 35 stasiun kamera di sekeliling Merapi, termasuk sembilan stasiun kamera DSLR dan dua kamera thermal. Foto-foto dari kamera itu menggantikan sketsa untuk mengetahui perubahan morfologi Merapi.

Saat muncul kubah lava Merapi pada Agustus 2018, BPPTKG menerapkan analisis fotogrametri untuk melihat perubahan morfologi dari waktu ke waktu.

“Dari analisis fotogrametri, kita jadi tahu bagaimana kubah lava berkembang. Jadi kubah lava ini berkembang dari tengah kemudian ke sekitarnya atau pertumbuhannya cenderung endogenik,” kata Agus.

Menurut Agus, BPPTKG juga menggunakan teknologi drone untuk mengambil foto. Kelebihannya, foto dari drone memiliki perspektif yang tepat, bahkan untuk memotret di lokasi yang tak terjangkau langsung oleh manusia.

“Dengan menggunakan drone ini, kami tidak perlu mendatangi tempat-tempat yang berbahaya. Seperti saat ini, tidak ada misi ke puncak karena pemantauan visual dapat dilakukan melalui drone dan satelit,” ucapnya.

Agus menjelaskan, pengambilan data lewat drone secara berulang dapat membantu analisis perubahan morfologi Merapi dari waktu ke waktu.

Hasil analisis profil morfologi menunjukkan kubah lava 2018 berhenti tumbuh pada akhir Desember 2018. Selain itu, perhitungan volume kubah lava lebih akurat karena volume dihitung secara tiga dimensi. Metode ini berbeda dengan era krisis Merapi sebelumnya saat pemantauan mengandalkan foto dua dimensi sehingga kurang hasilnya representatif.

“Pemantauan dengan menggunakan drone telah dilakukan secara intensif sejak menjelang erupsi tahun 2018 hingga saat ini dengan periode setiap satu minggu,” kata dia.

Menurut Agus, metode pemantauan visual lain yang telah diterapkan adalah melalui satelit. Prinsipnya sama dengan penggunaan drone, yakni mendapatkan data foto objek dari atas.

Pengambilan data oleh satelit telah terjadwal sehingga data diperoleh secara rutin. Seperti pada metode drone, melalui satelit, pengamat tidak perlu mengakses daerah-daerah berbahaya. Resolusi foto dari satelit juga telah mencapai ukuran centimeter, sehingga sangat cukup untuk kebutuhan analisis morfologi.

“Pada akhir-akhir ini terjadi pembentukan crack atau rekahan di kawah atau kubah lava paska 2010 dan 2018. Kemudian juga menunjukkan aktivitas guguran yang intensif,” ucapnya.

Metode lain yang diterapkan untuk data satelit citra radar adalah Interferometric Synthetic-Aperture Radar (InSAR). Metode ini memberikan gambaran deformasi secara tiga dimensi dari perubahan fase gelombang radar yang dipancarkan ke objek dan kembali ke satelit. Prinsip kerjanya mirip metode Electronic Distance Measurements (EDM), namun dengan jumlah sinar yang jauh lebih banyak.

Kekurangan metode InSAR adalah resolusinya tidak terlalu tinggi, sehingga sulit untuk mendapatkan resolusi hingga centimeter untuk deformasi di gunung api. Metode ini berbeda dari metode EDM yang bisa mencapai orde milimeter meskipun hanya diukur dari satu titik.

“Metode InSAR ini berguna jika ada suplai magma yang besar, sehingga orde deformasinya mampu terekam oleh satelit,” ucapnya.

1689