Home Kesehatan Surplus Rp18,7 T, BPJS Diminta Jamin Biaya Korban Kejahatan

Surplus Rp18,7 T, BPJS Diminta Jamin Biaya Korban Kejahatan

Jakarta, Gatra.com – Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Edwin Partogi Pasaribu, mengatakan, Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sudah selayaknya kembali menjamin biaya medis masyarakat yang menjadi korban kejahatan setelah mengklaim arus kasnya surplus Rp18,7 triliun pada 2020.

Edwin di Jakarta, Rabu (10/2), menyatakan, surplus keuangan yang dialami oleh BPJS saat ini seharusnya menjadi momentum bagi negara untuk kembali memberikan jaminan kesehatan kepada para korban kejahatan.

"Pada prinsipnya negara harus hadir bagi para korban, apalagi masyarakat sudah membayar iuran kepada BPJS setiap bulannya," ujarnya.

Edwin berharap pemerintah merevisi Perpres No 82 Tahun 2018 dengan mencabut beberapa ketentuan terkait pengecualian jaminan kesehatan untuk korban kejahatan.

Edwin menceritakan, awalnya peserta BPJS Kesehatan yang menjadi korban tindak pidana masih dapat mengakses layanan rumah sakit dengan menggunakan fasilitas BPJS hingga Pepres No 82 Tahun 2018 terbit, korban menjadi kehilangan haknya.

“Jika pada pada peraturan sebelumnya tidak diatur sama sekali mengenai layanan kesehatan bagi korban tindak pidana, maka pada peraturan baru sangat tegas untuk korban tindak pidana tidak mendapatkan dapat mengakses layanan kesehatan melalui mekanisme BPJS," ujar Edwin

Pasal 52 Ayat (1) huruf r dalam Perpres tersebut diatur empat peristiwa tindak kejahatan yang tidak lagi ditanggung BPJS, seperti tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme, dan tindak pidana perdagangan orang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.“Namun pada praktiknya, saat ini semua tindak pidana tidak lagi dijamin BPJS,” ungkapnya.

Selain itu, terhadap korban tindak pidana, Edwin juga menyoroti beberapa kelompok yang tidak mendapat lagi manfaat dari BPJS, seperti korban kecelakaan lalu lintas, korban bencana pada masa tanggap darurat, dan lain sebagainya.

"Untuk kecelakaan lalu lintas misalkan, Jasa Raharja hanya menangggung maksimal 20 juta, lalu siapa yang menanggung biaya korban jika harus rawat ICU yang jumlahnya lebih besar?" katanya.

Edwin menambahkan, setelah Perpres itu terbit, dampaknya banyak korban kejahatan ditolak pada saat melakukan klaim BPJS di rumah sakit lalu diarahkan ke LPSK untuk menanggung biaya medisnya. Padahal, LPSK bukanlah lembaga penjamin kesehatan. Namun di sisi lain, tidak ada lembaga lain yang juga memberikan jaminan kesehatan.

“Dengan anggaran yang tersedia saja, kami sudah cukup berat menangani permohonan medis para terlindung LPSK, tentu lebih tidak masuk akal bila LPSK diminta menjamin semua korban kejahatan di Indonesia,” kata Edwin.

Dalam catatan LPSK, jumlah korban kejahatan yang mengajukan permohonan bantuan rehabilitasi medis ke LPSK pasca-Perpres No 82 Tahun 2018 terbit mencapai 264 permohonan, tertinggi di 2019 dengan 183 permohonan.

"Seluruhnya merupakan korban kejahatan yang tidak mendapatkan layanan BPJS pada saat di rumah sakit," ungkap Edwin dalam keterangan pers.

993