Home Info Sawit Moeldoko: Posisi Tawar Sawit Kita Sangat Kuat

Moeldoko: Posisi Tawar Sawit Kita Sangat Kuat

Jakarta, Gatra.com - Kalau ditengok dari  persentase luas kebun kelapa sawit di dunia yang hanya 28 juta hektar atau 0,56% dari luas lahan pertanian yang mencapai 4,95 miliar hektar (data Desmet Ballestra), sesungguhnya keberadaan sawit yang selama ini dituding sebagai penyebab meningkatnya gas rumah kaca, penggundulan hutan, patut dipertanyakan.

"Apa iya lahan yang hanya 0,56% lebih berdampak buruk pada pemanasan global ketimbang lahan peternakan yang mencapai 69% (3,4 miliar  hektar)?," Dosen senior Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung (ITB), Tatang Hernas Soerawidjaja, kemarin bertanya.

Kebetulan lelaki 69 tahun ini didapuk menjadi pembicara dalam acara Webinar Nasional bertajuk "Strategi Penguatan Kebijakan Pengelolaan Sawit Secara Berkelanjutan".

Di sisi lain, 20 tahun lalu, persis Undang-Undang 41 tahun 1999 tentang Kehutanan lahir, Robert Henson, seorang penulis asal Oklahoma City, Amerika Serikat merilis buku berjudul; The Rough Guide to Climate Change.

Di buku itu dia sebut bahwa satu hektar kebun kelapa sawit bisa menyerap 64,5 ton karbon dioksida (CO2) dan menghasilkan sekitar 18,7 ton oksigen (O2).

Angka ini lebih besar ketimbang kemampuan satu hektar hutan tropis yang hanya mampu menyerap 42,4 ton CO2 dan menghasilkan 7,09 ton O2.

Kalau merujuk angka itu, versi Kementerian Pertanian, di Indonesia ada sekitar 16,38 juta hektar kebun kelapa sawit.

Ini berarti, saban tahun kebun kelapa sawit Indonesia menyerap sekitar 1.056,51 juta ton CO2 dan menghasilkan sekitar 306,306 juta ton oksigen O2.

Meski sudah ada data dan fakta seperti itu, sebagai negara penghasil sawit terbesar di dunia kata Kepala Staf Presiden (KSP), Moeldoko, Indonesia enggak boleh lengah, tapi justru harus bisa menjadi motor pengelolaan kebun kelapa sawit berkelanjutan di dunia.

Untuk itulah makanya April tahun lalu kata lelaki 63 tahun ini, Presiden Jokowi meneken aturan main; Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).

Peraturan Presiden (Perpres) nomor 44 tahun 2020 tentang ISPO ini yang kemudian menjadi alat kontrol pemerintah untuk menangkal isu negatif, perlindungan lingkungan dan petani, termasuk tenaga kerja di sektor sawit itu.

"Kalau semua aturan main itu kita jalankan, tentu akan jadi senjata bagi kita untuk menghadapi isu-isu Internasional dan kita akan lebih mudah berargumentasi," kata mantan Panglima TNI ini. Ayah dua anak ini pula yang membuka acara Webinar itu.

Jika ISPO itu berhasil dijalankan kata Moeldoko, kekuatan geopolitik Indonesia terhadap dunia Internasional akan semakin kuat.

Sebagai produsen terbesar di dunia kata Moeldoko, kekuatan ini tentu akan semakin meningkatkan posisi tawar Indonesia terhadap suplay-demand komoditi sawit.

"Semua kekuatan ini musti kita berdayakan dengan sungguh-sungguh biar kian bermanfaat bagi rakyat Indonesia," pintanya.

Salah satu cara pemberdayaan itu katanya adalah dengan menguatkan hilirisasi kelapa sawit biar kian punya nilai lebih.

Khusus kepada petani sawit kata Moeldoko,  Presiden Jokowi selalu mengatakan bahwa  pemerintah sangat mendukung petani.

"Jadi, kalaupun saat ini ada persoalan petani, baik itu terkait program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), sawit dalam kawasan hutan, hingga ISPO, pemerintah punya infrastruktur dan suprastruktur untuk menangani ini, jalan keluarnya pasti ada, apalagi Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) sudah ada, tidak hanya untuk petani sawit, tapi semua petani keseluruhan, jangan khawatir," pintanya.

Biar semua berjalan lancar kata Moeldoko, petani dan juga korporasi musti bisa bersinergi membantu pemerintah, tentunya untuk sawit Indonesia berkelanjutan.

"Sebab apa pun aturan main yang dibikin pemerintah, enggak akan pernah diniatkan untuk menyulitkan rakyatnya, termasuk perusahaan, apalagi petani," katanya.


Abdul Aziz

467