Home Gaya Hidup Tentang SAD di Bukit Dua Belas

Tentang SAD di Bukit Dua Belas

Pangkal Warih Tanah Garo

Ujung Warih Tanah Serengam

Ayik Itam Tanah Bejenang.

Fasih Temanggung Tarib melafazkan pepatah itu. Bahwa Ayik Itam kata lelaki 70 tahun ini, selain menjadi ulayat juga menjadi tempat tinggalnya Jenang --- Penata ulayat; Orang yang paham dengan Ulayat semua Suku Anak Dalam (SAD) meski dia bukan orang SAD, tapi orang Dusun. Sebab Jenang baru ada sejak jaman penjajahan.

"Di sepanjang kawasan Bukit Bua Belas --- disebut juga Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBDB) --- ada 6 Ulayat; Air Hitam (Ayik Itam), Mengkekal, Kejasung Godong, Kejasung Kecik, Serengam dan Terap. Ulayat Ayik Itam itu ke Utara hingga Ayik Ban. Kiri mudik Ayik Ban sampai ke Mendelang. Desa Bukit Suban ini murni ulayat Ayik Itam,” rinci ayah 10 anak ini saat berbincang dengan Gatra.com di rumahnya di kawasan jalan poros Desa Bukit Suban Kecamatan Air Hitam Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi, Sabtu pekan lalu.

Dia ditemani oleh putra keenamnya, Nangkus. Nangkuslah yang kemudian menggantikan Tarib menjadi Temanggung. Bintara Pembina Desa (Babinsa) Sersan Dua (Serda) Husni Tamrin, dan Kelapa Desa Bukit Suban, Mujito, juga berbaur di sana.

Kalau ditengok secara wilayah administratif pemerintahan, ulayat-ulayat warga SAD yang dirinci Tarib tadi, berada di empat kabupaten; Sarolangun, Merangin, Batanghari dan Tebo. Dan secara administratif pula, di Sarolangun paling sedikit SAD dan paling banyak di Tebo.

Tiap ulayat kata Tarib, dikepalai oleh seorang Temanggung. Para Temanggung dibantu oleh Depati (Kepala Dusun) dan Menti (Ketua RT). Tapi sekarang, dalam satu Ulayat itu bisa ada 3,4 bahkan lebih Temenggung.

Baca juga: Ayik Itam Bukit Suban

“Temanggung sudah dibikin dewek (sendiri). Katakanlah sekelompok merantau, nanti di perantauan diangkat seorang Temanggung. Padahal mengangkat Temanggung itu tidak segampang membalikkan telapak tangan, ada tata cara yang harus dilakukan, ada syarat yang harus dipenuhi,” ujar Nangkus. Tarib manggut-manggut mendengar penjelasan anaknya itu.

Lebih jauh Tarib cerita, sudah beratus mereka ada di Ayik Itam. Namun seiring waktu, mereka kemudian mulai berbaur dengan warga Ulayat Mengkekal, begitu juga sebaliknya. Sebab kebetulan, Ayik Itam dan Mengkekal berbatasan langsung di Kanan Mudik Ayik Ban. Oleh pembauran tadi itu pulalah, Meriau bersemenda dengan SAD Mengkekal.

Sekitar tahun 1980an transmigrasi masuk ke Bukit Suban. Beberapa tahun kemudian kebun kelapa sawit pola plasma dibangun oleh perusahaan PT Sari Aditya Loka (SAL). Plasma hampir berbuah, barulah kebun inti perusahaan dibangun.

Biasanya, perusahaan membangun inti dulu baru plasma. Namun di Bukit Suban justru terbalik. Ini terjadi lantaran SAL datang ke Bukit Suban justru atas permintaan pemerintah lewat Kementerian Pertanian. Perusahaan diminta membantu 6.600 kepala keluarga untuk menjadi peserta program Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Itulah makanya di Bukit Suban, plasma dulu ada, baru inti.

“Di masa-masa itulah orang Kejasung, Mengkekal dan Terap, mulai berdatangan ke Bukit Suban. Jadi jangan heran kalau di Bukit Suban yang notabene Ulayat Ayik Itam ini, bermukim empat orang Temanggung; Temenggung Aprizal, Bepayung (berasal dari Kejasung), Grip (berasal dari Mengkekal) dan Ayik Itam. Bagi kami sebenarnya tidak ada masalah,” ujar Tarib.

Namun lama kelamaan kata Nangkus, masalah baru muncul di Bukit Suban. Pola kelola masyarakat sudah banyak bertabrakan. Di Ayik Itam, salah satu yang membikin tidak menyenangkan itu kata Nangkus, warga SAD dari Ulayat lain seperti Mengkekal, Kejasung dan Terap mulai ‘menguasai’. Mereka bahkan menuntut hak kepada perusahaan.

“Seperti beberapa waktu lalu misalnya, ada orang dari Jakarta datang. SAD yang berkerumun bersama mereka itu hanya satu dua orang SAD Ayik Itam yang ikut-ikutan. Selebihnya dari luar Ayik Itam. Mereka kemudian melaporkan ini melaporkan itu terkait Ayik Itam. Ini sangat tidak menyenangkan kami. Dalam tata wilayah dia lah dia menuntut, jangan di kampung orang menuntut perusahaan. Orang dari Jakarta itu mana tahu mereka soal SAD. Dianggapnya saja sama semua. Padahal tadi sudah diceritakan bahwa tiap Temanggung punya ulayat masing-masing,” rutuknya.

Terkait kejadian itu, Tarib mengaku baru pulang dari rumah Temanggung Nggrip. Nggrip kata Tarib bertanya soal yang begaduh --- kisruh di kedatangan Wakil Menteri ATR BPN ---tempo hari.

“Gini Temanggung, makanya kami orang Ayik Itam tidak nuntut,” kata Tarib.

“Kenapa?” Nggrip bertanya.

“Karena adat kita orang Rimbo, Ulayat mu di kamu, Ulayat kami di kami. Masak orang lain mau nuntut di wilayah kami,” Tarib beralasan.

“O… ya memang tidak boleh lah,” Nggrip sependapat.

“Itulah makanya kami tidak mau nuntut,” Tarib menegaskan.

Sebagai Temanggung kata Nangkus, kalau kayak begitu terus kejadiannya, akan sangat mengganggu warga SAD Ayik Itam.

“Kami sangat tidak setuju ada tuntut menuntut di Ulayat kami, kenapa? Karena pola kelola perusahaan, pemerintah, itu sangat bagus tujuannya. Kenapa kita masih semau kita, didorong sini di adu sana,” ujarnya.

“Sekarang orang dalam (SAD) ini sudah seperti menendang bola. Mana yang gampang bisa dikelola, disuruh diributi. Itu tidak baik dan itu sudah saya tegaskan kemarin dengan Temenggung Aprizal, Bepayung dan Nggrip,” katanya.

Sebetulnya kata Nangkus, sudah terpikir olehnya duduk semeja dengan semua Temanggung, mencari solusi. Tapi itu akan sangat sulit. Selain komunikasi yang sulit, jarak tempuh yang jauh, agak berat juga kata Nangkus untuk menyelesaikan persoalan kalau hanya oleh SAD.

“Kami sangat berharap pemerintah lah yang mendudukkan kami, sebab yang datang itu banyak, takut jadi bunuh-bunuhan. Kalau pemerintah yang selesaikan, senakal-nakalnya orang Rimbo, pasti ada segannya juga dengan pemerintah, namanya juga raja yang mendudukkan,” Nangkus yakin.

Tak hanya didudukkan kata Nangkus, dia berharap pemerintah membina SAD. “Bina kami yang baik baik. Jangan biarkan kami diadu oleh orang yang tak bertanggungjawab. Sebab kami ini gampang terpengaruh. Gampang diadu. Jangan sampai kami bentrok dengan suku-suku kami. Jangan sampai belago. Jangan sampai pecah belah orang Rimbo ini,” pintanya.


Abdul Aziz

608