Home Sumbagsel Kesepakatan Semu PT BPP Menjerat Lahan Warga Eks Marga Bayat

Kesepakatan Semu PT BPP Menjerat Lahan Warga Eks Marga Bayat

Palembang, Gatra.com - Seiring perluasan operasi perusahaan perkebunan kayu atau Hutan Tanaman Industri (HTI), kerap menjadi permasalah agraria yang semakin meluas di Sumatera Selatan (Sumsel). Monopoli tanah skala besar oleh pihak perusahaan, sedangkan masyarakat ditempatkan pada posisi paling lemah dalam upaya mempertahankan tanah dan hak-haknya atas sumber daya alam.

Selanjutnya, kondisi ini kian diperburuk karena penerapan hukum hanya melihat aspek secara legal formal hak atas penguasaan dan kepemilikan tanah. Jika perusahaan telah mendapatkan izin usaha, maka mereka dapat menguasai dan mengolah tanah. Dengan keadaan seperti ini, pembangunan dan perluasan perkebunan kayu akan secara langsung menyeret rakyat pada berbagai masalah agrarian. Salah satunya adalah konflik penguasaan tanah PT Bumi Persada Permai (BPP) terhadap eks Marga Bayat, Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), Sumsel.

“Sampai saat ini belum ada konflik yang terselesaikan secara tuntas dan berkeadilan. Bagi perusahaan konflik dimaknai hanya sebatas ‘deklarasi penyelesaian’ dan tidak sampai pada implementasi kesepakatan,” ungkap Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel, Yuliusman kepada gatra.com belum lama ini.

Ia menjelaskan, komitmen menyelesaiakan konflik sosial secara berkeadilan sebagaimana yang telah dituangkan dalam kebijakan forest conservation policy (FCP) hanya lips service dan kamuflase Asian Pulp and Paper (APP) dalam membangun image publik semata.

Sebagaimana Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 337/Menhut-II/2004, pada 7 September 2004 PT BPP Distrik Selaro, bergesekan atau tumpang tindih dengan lahan garapan eks Marga Bayat (Desa Simpang Bayat, Pangkalan Bayat, Bayat Ilir, Pagar Desa, Tampang Baru, Sindang Marga, dan Telang). Bahkan dinilai hal tersebut (tumpang tindih lahan) berpotensi memunculkan konflik berkepanjangan atau lintas generasi.

"Hasil penelusuran dalam hal penyelesaian hanya bersifat meredam reaksi masyarakat dalam hal ini menguntungkan pihak perusahaan. Pengabaian dalam menjalankan kesepakatan ini sengaja dilakukan oleh perusahaan untuk menciptakan dinamika di kelompok masyarakat yang berkonflik agar muncul konflik antar masyarakat," terangnya.

Yuliusman menguraikan, PT BPP merupakan perusahaan hutan tanaman di bawah bendera group APP atau Sinar Mas forestry (SMF). Di mana pada tahun 2013 APP telah menyatakan komitmen untuk mengutamakan penyelesaian konflik melalui proses dialog dan mediasi serta menerapakan prinsip FPIC (Free, Prior and Informed Consent) dalam rantai pemasok industrinya.

"Namun, fakta di lapangan dalam kurun waktu 7 tahun (2021) terakhir konflik tenurial perusahaan HTI Sinar Mas Group khususnya di Kabupaten Banyuasin, Sumsel, belum terselesaikan hingga ke akar permasalahan atas penguasaan lahan dan ini berpotensi terjadi konfik yang berkepanjangan," katanya.

Seperti pada 2021 sambung Yuliusman, hasil pengambilan titik koordinat di lapangan ditemukan bahwa total luasan penggusuran (land clearing) yang dilakukan oleh PT BPP seluas 28 ha. Di mana di dalamnya juga ikut tergusur kebun Anis (Suku Anak Dalam/SAD dari Bongku-Jambi) seluas 1,8 ha yang telah ada tanaman kelapa sawit berumur 1 tahun, lahan Punpun dan Anwar (SAD Sungai Badak) seluas 4 ha, lahan usaha eks kebun jagung masyarakat Desa Pagardesa seluas 15 ha, serta lahan PT Reki wilayah Jambi seluas 7 ha.

Di tahun berikutnya (Maret 2022), seluas 34 ha PT BPP kembali mengusur lahan yang dikelola oleh kelompok Tampang Lamo Desa Simpang Bayat, dengan 24 orang anggota. Lahan tersebut ditanami masyarakat dengan tanamani kurang lebih 3000 batang karet, dan 1500 kelapa Sawit berusia 4 tahun.

"Dari hasil wawancara kami dan check lapangan, terdapat lima kelompok pengelola lahan yakni, Tampang Lamo, Sakopekai, Rotan Renggut, Melamun, dan Sako Besar, dengan total luasan mencapai seluas 430,8 hektar. Di mana 258,8 hektar telah ditanami perusahaan, selebihnya (172 ha) dikelola masyarakat Simpang Bayat," imbuhnya seraya mengatakan, agar pihak PT BPP lahan masyarakat seluas 172 ha untuk dikeluarkan dari areal izin konsesinya (PT BPP).

Sementara itu, Kepala Desa (Kades) Pagardesa, Firman Luter tidak menyangkal sempat terjadi gesekan warga dengan PT BPP mengenai penguasaan atas lahan. Termasuk SAD yang berada di wilayah administrasi pemerintah desa. Kendati demikian, situasi saat ini sudah tenang masing-masing (warga dan perusahaan) dengan pemerintah setempat lahirkan kesepakatan sebagai bentuk komitmen kedua pihak.

"Hanya saja memang, apakah bentuk kesepakatan itu ke depan tetap tidak memunculkan konflik wallahua'lam," katanya.

Ia mengaku, dalam hal penyelesaian konflik dinilai hanya meredam tidak menuntaskan dengan baik. "Setahu saya memang tidak ada dokumen hukum yang bisa dijadikan warga sebagai pegangan jika kemudian hari pihak perusahaan tidak menjalankan komitmennya," katanya.

Luter menambahkan, adapun konflik yang masih ada saat ini justru dari pihak perusahaan pertambangan batu bara PT Karya Perintis Sejati (KPS). Ini disebabkan sejak 2009 (awal berdiri perusahaan) lahan dibiarkan terlantar sehingga warga berinisiatif datang menggarap.

"Sekarang di lahan tersebut masih di kelola dan sudah ada kelompok petani. Hanya saja yang menjadi masalah, mereka bukanlah warga Pagardesa, tapi dari luar," ungkapnya.

"Di wilayah desa kami, lahan kosong bisa dikatakan tidak ada lagi, bahkan lahan konservasi sudah dibuka semua," sambungnya. Ia juga menyebut jumlah warga Desa Pagardesa mencapau 1600 jiwa.

Rakus Terhadap Tanah

Masyarakat eks Marga Bayat, telah menguasai dan mengelola kawasan hutan jauh sebelum Indonesia merdeka oleh Puyang Sejaring (salah satu leluhur warga eks Marga Bayat). Hanya saja, seiring masuknya industri ekstraktif yang rakus terhadap tanah, kian menggerus para generasi ke tujuh Puyang Sejaring.

Persoalan ketidakpastian tata kelola dan batas hutan pascalahir izin konsesi perusahaan HTI dirasakan warga di sana, menjadi pemicu permasalahan tenurial di antara pihak perusahaan dalam hal ini PT BPP dengan warga dari berbagai desa eks Marga Bayat, yang telah tinggal dan berkembang biak jauh sebelum perusahaan anak Sinar Mas masuk melebarkan sayapnya.

Pembukaan hutan eks magra bayat yakni pertama oleh Puyang Sejaring, diteruskan Puyang Janggut, turun ke Puyang Koneng, kemudian Usai (Idim), Lokak (Sahri), Murah (Abdul Manan), Idit (Suhardi) ini marga Bayat.

Sebelum masa pemerintahan Marga dihapuskan, kawasan ini (Marga Bayat) terdiri dari tujuh desa yang meliputi: Desa Simpang Bayat, Telang, Oncan (Sindang Marga), Kali Berau, Tampang Baru, Pangkalan Bayat, dan Desa Suak Buring (Pagar Desa).

"Kalau diperhatikan pemerintah lebih memprioritaskan perusahaan ketimbang warganya. Bagaimana tidak, kita ambil contoh izin yang diberikan terkadang tidak lagi memperhatikan keberadaan warga setempat, yang ujung-ujungnya lahan yang diusahakan hilang menjadi milik perusahaan," kata Suhardi (48), warga Dusun Tampang Lama, Desa Simpang Bayat, kepada Gatra.com.

Ia juga mengungkapkan, lahan kehidupan yang seharusnya jelas keberadaannya, hingga saat ini warga tidak mengetahui di mana letak atau titik lahan kehidupan yang peruntukan warga dengan pola kemitraan.

"Saya dibantu kawan-kawan dari Walhi, HaKI sudah sering menyampaikan dan beberapa kali difasilitasi tetapi memang kami (warga) tidak cukup kuat untuk mendapat akses, katakanlah mengetahui secara detail lahan kehidupan. Itu saja sulit," tuturnya.

Ia menyebut, lahan kehidupan yang di Desa Simpang Bayat, ada sekitar 1700 ha, tetapi warga tidak mengetahui jelas titik lahan tersebut. Justru yang mengejutkan warga akan tanaman kehidupan di dalam wilayah Suak Buring (Desa Pagardesa) dan Sinar Harapan, yang tercatat 8000 ha, namun yang ada hanya 28 ha.

Wakil Ketua Satuan Tugas Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria (SATGAS P2KA) Muba, Adios Syafri mengatakan, pihaknya juga mendorong pihak perusahaan dalam menjalankan usahanya tidak menabrak aturan yang dapat merugikan warga.

"Alat produksi masyarakat di desa itu tanah, kalau tanahnya sudah tidak ada lantas kemana mereka (petani) akan bergantung hidup," katanya.

Ia menjelaskan, sejauh ini proses penyelesaian konflik lahan di mana pihaknya juga selalu terlibat, diakui hanya sekedar formalitas saja yang tidak berefek kepada kekuatan di tingkat petani dalam menguasai atau untuk mengelola di atas lahan yang bersengketa.

"Kesempatan yang muncul, keraplah berupa lisan. Dengan kondisi seperti ini, konflik tidak mungkin bisa dicegah di kemudian hari, walaupun kita bisa melihat warga dalam posisi yang kalah," imbuhnya.

Sementara, Wakil Gubernur Sumsel, Mawardi Yahya meminta agar reforma agraria di Sumsel diperkuat dan mampu mengatasi kendala yang yang kerap timbul. Baik konflik agraria dan sengketa tanah di masyarakat.

"Reforma Agraria ini bisa mempersempit ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah yang sejatinya akan memberikan harapan baru untuk perubahan dan pemerataan sosial ekonomi masyarakat secara menyeluruh," kata Mawardi.

Dia meyakini, reforma agraria secara fundamental memberikan program-program yang dapat menuntaskan masalah kemiskinan masyarakat desa, meningkatkan kesejahteraan dengan kemandirian pangan nasional, meningkatkan produktivitas tanah, memberikan pengakuan hak atas tanah kepada masyarakat secara legal.

"Program reforma agraria yang dilakukan tentu untuk membantu masyarakat dalam mendapatkan sertifikasi atas tanahnya secara legal," tuturnya. Sebagai pemangku kebijakan, dia juga meminta pihak yang berkaitan dengan pelayanan agraria ini terus meningkatkan kinerjanya.

"Kita sebagai pemangku kebijakan tidak boleh putus asa dan sistem perlu diperbaiki secara bertahap," tegasnya.

Ambisi Meningkatkan Produksi

Ambisi peningkatan kapasitas produksi PT OKI Mill Asian Pulp and Paper (APP), diprediksi menimbulkan rentetan masalah terutama dalam pemenuhan kebutuhan bahan baku yang pada akhirnya berimplikasi terhadap lingkungan dan sosial masyarakat.

Walhi Sumsel, menguraikan bahwa peningkatan produksi APP ini, tentu akan menekan seluruh anak perusahaan HTI pemasok bahan baku untuk optimalisasi konsesi secara rakus dan berpotensi mengabaikan tanggung jawab sosial, lingkungan, serta aturan-aturan yang ada.

Selain kebutuhan bahan baku, lembaga sipil yang konsen terhadap lingkungan hidup ini mencatat bahwa ada tiga isu krusial yang ditimbulkan dari peningkatan kapasitas produksi OKI Mill yaitu penggusuran lahan, pembiaran konflik dan pengangkangan fungsi konservasi dan ekosistem penting lainnya.

Sementara, isu krusial lainnya bahwa assessment Report Industrial Forest Plantation High Conservation Value Public Summary PT BPP, 24.050 Ha, Musi Banyuasin Regency, South Sumatra Province September – November 2013, disebutkan bahwa tidak ada tegakan akasia 100 meter dari tepian sungai.

"Namun faktanya komitmen HCV atau nilai konservasi tinggi ini tidak dijalankan. Seperti ditemukan di tepian Sungai Badak, ditanam eucalyptus dan di land clearing oleh PT BPP sehingga menghilangkan area yang meyediakan keanekaragaman hayati sebagai fungsi pendukung dan perlindungan lingkungan dan berdampak pada hilangnya penyediaan air dan rentan terjadi banjir," Febri Putra Sopha staf Walhi Sumsel.

APP mengestimasi peningkatan kapasitas OKI mill akan membutuhkan pasokan 30,1 juta ton kayu demi memproduksi 7 juta ton kraft pulp dan 700 ribu ton mechanical pulp. Sebagai perbandingan, pada 2020 konsumsi kayu OKI mill sebanyak 10,6 juta meter kubik kayu guna menproduksi 2,45 juta ton kraft pulp.

Sementara itu, Abdullah Bakrie selaku Ketua Tim Penyelesaian Konflik PT BPP saat dimintai untuk diwawancara memilih bungkam dengan tidak menjawab permohonan wawancara melalui pesan singkat pada 10 April 2023.

Pada kesempatan lain, pihaknya meminta waktu hingga minggu pertama Mei 2023. Namun hingga saat ini, bersangkutan tetap memilih untuk tidak diwawancarai.

775