Home Hukum YGNS Dorong Kasus HAM 98 Diselesaikan Menggunakan Restorative Justice

YGNS Dorong Kasus HAM 98 Diselesaikan Menggunakan Restorative Justice

Jakarta, Gatra.com – Yayasan Gerak Nusantara Sejahtera (YGNS) mendorong penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) 1998 melalui skema restorative justice untuk menciptakan persatuan nasional Indonesia yang adil dan makmur.

“Kami mendorong proses penyelesaiannya dengan cara restorative justice,” kata Revitriyoso Husodo Soeprapto, Ketua Umum (Ketum) Yayasan Gerak Nusantara Sejahtera dalam pernyataan sikapnya diterima di Jakarta, Sabtu (29/7).

Revitriyoso menyampaikan, pihaknya mendorong penyelesaian melalui restorative justice membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sangat besar haruslah mengedepankan kearifan musyawarah dengan mengupayakan islah nasional bagi korban proses Reformasi 1998 dan pelaku pelanggar HAM.

“Sebagai bangsa yang besar, kita harus bertambah dewasa dalam bernegara namun juga harus tegas dalam menjunjung tingi kemanusiaan, dalam hal ini kita harus bersikap memaafkan namun tidak melupakan (forgiving but not forgetting),” ujarnya.

Kasus tragedi tindak kekerasan negara yang dilakukan oleh alat negara pada tragedi 1998 telah menyebabkan banyak korban yang berjatuhan dan bahkan sampai dengan saat ini belum juga usai.

Sejak reformasi tregedi 1998, Indonesia sudah mengalami lima pergantian presiden, yakni BJ Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Sukarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan sekarang Joko Widodo (Jokowi).

“Sampai saat ini, nasib Widji Thukul, Herman Hendrawan, Bimo Petrus, dan lainnya belum jelas di mana berada atau kuburnya hingga Yu Pon, istri Widji hukul sudah almarhumah. Luka bangsa ini belum terobati,” katanya.

Dalam konferensi pers di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Jakarta, pihaknya menyampaikan, sudah 25 tahun Reformasi di Indonesia berlangsung. Proses penyelesaian tragedi 1998 sampai dengan saat ini sedikit mendapat titik terang dengan pernyataan Jokowi pada 1 Januri 2023.

Jokowi menyampaikan bahwa negara mengakui dan menyesalkan 12 pelanggaran HAM yang berat memang terjadi, termasuk rangkaian peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, yakni Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997–1998, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, dan Peristiwa Trisakti dan Semanggi I dan II 1998–1999 dengan penyelesaian nonyudisial namun tanpa menegasikan mekanisme yudisial.

Menurut dia, Presiden Jokowi juga melakukan langkah kongkret dengan menginstruksikan Menteri Koordinator Poitik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Bapak Mahfud MD untuk mengawal proses penyelesaiannya.

Sampai saat ini, proses penyelesaian tersebut masih menyisakan persoalan yang mendasar tentang bagaimana proses penyelesaian dan penanganan HAM masa lalu tersebut.

“Kami yang tergabung dalam Yayasan Gerak Nusantara Sejahtera dalam mensikapi tragedi 1998 hanya menginginkan adanya pengakuan negara terhadap penghilangan nyawa secara paksa dan pemulihan hak-hak para korban,” katanya.

Pelanggaran HAM akan menimbulkan kerugian yang harus diderita oleh korban maupun oleh keluarganya. Oleh karena itu, korban-korban merupakan pihak yang harus mendapatkan pemulihan kerugian dari terjadinya pelanggaran HAM tersebut.

“Sebagai contoh, islah atau perdamaian yang terjadi di serambi Mekah yang terjadi pada saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusuf Kalla sampai dengan saat ini berjalan dengan damai bahkan banyak perubahan yang siknifikan di tanah Rencong tersebut,” ujarnya.

Pengakuan negara terhadap terjadinya penggaran HAM dan ganti kerugian bagi korban pelanggaran HAM merupakan sesuatu yang selama ini diidam-idamkan, negara seharusnya bertanggung jawab dan memberikan jaminan hak asasi, termasuk hak korban.

Berbagai upaya yang dilakukan untuk mendapatkan keadilan (in casu pelanggaran HAM) belum menemukan titik terang yang dapat melindungi korban. Hingga muncul sebuah pemikiran tentang kemungkinan penerapan restorative justice, keadilan restoratif dalam pelanggaran HAM.

Sistem Hukum Pidana Indonesia mengalami babak baru, restorative justice adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku korban, keluarga pelaku atau korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.

Ini merupakan alternatif penyelesaian perkara dengan mekanisme yang berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan semua pihak terkait.

Ia menjelaskan, prinsip dasar restorative justice adalah adanya pemulihan pada korban yang menderita akibat kejahatan dengan memberikan ganti rugi kepada korban, perdamian, pelaku melakukan kerja sosial maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya.

“Penyelesaian masalah hukum diselesaikan di luar pengadilan peyelesaian dengan cara musyawarah mufakat sesuai dengan landasan Pancasila sila keempat,” katanya.

Ia menjelaskan, tujuan utama dari restorative justice adalah pencapaian keadilan yang seadil-adilnya, terutama bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya, dan tidak sekadar mengedepankan penghukuman. Restorative Justice adalah suatu pendekatan baru dalam bidang hukum pidana yang telah menggantikan pendekatan perbuatan atau pelaku atau “daad dader straftecht”.

Para ahli hukum telah meperkenalkan formula keadilan, khususnya dalam pendekatan HAM, ada tiga aspek pendekatan untuk membangun sistem hukum dalam rangka modernisasi dan pembaharuan hukum, yaitu segi struktur, segi substansi, segi budaya yang semuanya layak berjalan secara integral, simultan, dan paralel.

Adapun dasar hukum restorative justice yakni pasal 310 dan 205 KUHP, Peraturan Kejaksaan Negeri Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Tuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, dan Peraturan Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Kemudian, Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor : 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020, tanggal 22 Desember 2020 tentang Pedoman Penerapan dsn restorative justice di Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Aguang (MA) sedang dalam Proses Pembahasan Restorative Justice untuk Penggaran HAM. “Mudah-mudahan pembahasannya bisa dipercepat,” katanya.

Sedangkan syarat-syarat restorative justice, yakni perdamian dari kedua belah pihak yang dibuktikan dengan kesepakatan perdamaian dan ditandatanagani oleh para pihak serta pemenuhan dan pemulihan hak- hak korban.

Selanjutnya Revitriyoso menjelaskan pinsip-prinsip dasar restorative justice, yakni keadilan yang dituntut adalah adanya upaya pemulihan bagi pihak yang dirugikan, siapapun yang terlibat dan terkena dampak dari tindak pidana harus mendapat kesempatan untuk berpartisipasi penuh menindaklanjutinya, dan pemerintah berperan dalam menciptakan ketertiban umum, sementara masyarakat membangun dan memelihara perdamaian.

Menurut Revitriyoso, ada empat nilai utama dari restorative justice, di antarnya encounter (bertemu satu sama lain), yaitu menciptakan kesempatan kepada pihak-pihak yang terlibat dan memliki niat dalam melakukan pertemuan untuk membahas masalah yang telah terjadi dan pascakejadian.

Selanjutnya amends (perbaikan). Ini sangat diperlukan pelaku mengambil langkah dalam memperbaiki kerugian yang terjadi akibat perbuatannya. Kemudian reintegration (bergabung kembali dalam masyarakat), yaitu mencari langkah pemulihan para pihak secara keseluruhan untuk memberikan kontribusi kepada masyarakat.

“[Terakhir] inclusion (terbuka), di mana memberikan kesempatan kepada semua pihak yang terkait untuk berpartisipasi dalam penangannya,” kata Revitriyoso.

Proses restorative justice dapat dilakukan dalam beberapa mekanisme, tergantung situasi dan kondisi yang ada dan bahkan ada yang mengkombinasikan satu mekanisme dengan yang lain.

Adapun beberapa mekanisme yang umum diterapkan dalam restorative justice adalah sebagai berikut:

a. Victim offender mediation (mediasi antara korban dan pelaku)

b. Conferencing (pertemuan atau diskusi)

c. Circles (bernegosiasi)

d. Victim assistance (pendampingan korban)

e. Ex-offender assistance (pendampingan mantan pelaku)

f. Restitution (ganti rugi)

g. Community service (layanan masyarakat).

Dalam rertorative justice adanya permintaan masyarakat, yakni:

1. Rehabilitasi keluarga korban yang masih hidup maupun korban yang masih hidup.

2. Adanya jaminan pendidikan dan kesejahteraan sosial dan ekonomi.

3. Diberi penghormatan kepada korban yang sudah meninggal maupun yang masih hidup sebagai pahlawan Reformasi 1998.

4. Adanya permintaan maaf dari negara atas pelangaran HAM.

“Semoga upaya kebaikan kita semua mendapatkan hasil yang terbaik,” katanya.

198