Home Pendidikan Perkuat Otonomi, Beri Kepercayaan Perguruan Tinggi Berinovasi

Perkuat Otonomi, Beri Kepercayaan Perguruan Tinggi Berinovasi

Jakarta, Gatra.com - Rasa percaya yang sunguh-sungguh itu akhirnya diberikan oleh pemerintah kepada perguruan tinggi. Kini, ruang gerak untuk merancang pendidikan berbasis tri dharma: pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat, telah terbuka luas. Dukungan penuh tersebut, tak lain dan tak bukan demi mewujudkan cita-cita peningkatan sumber daya manusia (SDM) yang unggul.

Selama ini, niat perguruan tinggi untuk berkembang seolah terkungkung dalam Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti) yang hadir dengan sekelumit petunjuk teknis dan pelaksanaan. Hal itu disoroti langsung oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim.

Rumusan standar sebelumnya, dibuat hingga bagian terperinci. Padahal, bentuk paling baik dari rancangan standar sejatinya hadir sebagai sebuah prinsip dasar. Nantinya, biar perguruan tinggi mengembangkan prinsip dasar tersebut dalam sebuah rancangan pendidikan yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan masyarakat pendidikan didalamnya yakni, mahasiswa, dosen, dan perguruan tinggi itu sendiri.

“Hal ini yang mau kita ubah. Kita mulai percayakan perguruan tinggi dapat menentukan arah dan inovasinya sendiri,” ujar Nadiem dalam peluncuran Merdeka Belajar episode ke-26, Akhir Agustus lalu.

Mendikbudristek Nadiem telah mengeluarkan kebijakan anyar dalam payung Merdeka Belajar ke-26 yang bertemakan Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi. Secara bersamaan Peraturan Mendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi pun dikeluarkan sebagai payung hukum.

Menurut Nadiem, beleid ini menjadi simbol penanda bahwa perguruan tinggi harus bisa berinovasi secara cepat dan mandiri. Tak pelak, sebuah Standar nasional pendidikan tinggi (SN Dikti) teranyar pun dihadirkan.

Secara umum, standar teranyar ini memberikan otonomi lebih besar kepada Perguruan Tinggi dalam upaya berinovasi dalam menghadapi tantangan zaman. Karena, dalam SN Dikti terdahulu, aturan yang dibuat dianggap terlalu rigid. Bahkan aturan yang diatur pemerintah terdahulu tersebut seolah memberi intensi ketidak percayaan pada perguruan tinggi dalam negeri untuk berkembang secara mandiri.

“Karena itu sudah saatnya kita mempercayai masing-masing universitas untuk menentukan takdir mereka sendiri,” ujar Nadiem.

Sehingga, dalam standar teranyar, aturan yang dimunculkan hanyalah berupa sebuah kerangka atau framework, yang mana nantinya aturan bisa diturunkan secara mandiri dan mengikuti masing-masing kebutuhan Universitas.

Salah satu yang menjadi amanat, adalah tidak lagi diwajibkannya pembuatan skripsi oleh mahasiswa sarjana (S1)/Sarjana Terapan serta tidak wajib diterbitkannya makalah di jurnal untuk Mahasiswa Magister (S2)/Magister Terapan maupun Doktor(S3)/Doktor Terapan.

Beleid mengakomodir adanya opsi tugas akhir lain misal dalam bentuk prototipe, proyek, atau bentuk lainnya. “Kami memberikan kepercayaan kepada para kepala program studi atau kepala departemen untuk dapat menentukan bentuk tugas akhir sesuai perkembangannya,” jelas Nadiem.

Makin Leluasa Rancang Misi Pendidikan

 

Selaras dengan tajuknya, Merdeka Belajar Episode 26 sejatinya menghadirkan transformasi pengelolaan pendidikan tinggi. Semangat itu terejawantahkan melalui hadirnya Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti) dan Sistem Akreditasi Pendidikan Tinggi teranyar. Keduanya membawa cita-cita yang sama, yakni mendorong fleksibilitas tata kelola pendidikan tinggi agar makin merdeka.

Dengan adanya otonom lebih, perguruan tinggi pun diharapkan tak lagi sungkan untuk mengembangkan pendidikan mereka sesuai kekhasan dan keunggulan masing-masing kampus. Dengan cara itu, keniscayaan pada kemampuan perguruan tinggi untuk menghasilkan lulusan yang berkompeten dan berkarakter pun makin tinggi.

Plt. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Kemendikbduristek, Nizam menilai, selama ini ruang gerak perguruan tinggi untuk menghasilkan lulusan berkualitas kadang kala terganjal oleh standar yang secara saklek diatur oleh Kementerian. Karena kadang kala, standar tersebut memiliki arah yang tak selaras dengan apa yang menjadi keunggulan suatu perguruan tinggi.

“Padahal yang paling mengetahui lulusan apa yang ingin dihasilkan, itu kan di perguruan tinggi,” ujar Nizam dalam taklimat media, September lalu.

Permendikbudristek Nomor 53 tahun 2023 Tentang Penjaminan Mutu Pendidikan yang dihadirkan beriringan dengan program Merdeka Belajar Episode 26 lalu, mengakomodasi otonomi perguruan tinggi untuk bisa berinovasi pada misi pendidikan masing-masing. Begitupun pada penyusunan standar kelulusan mahasiswanya.

Bilamana perguruan tinggi memiliki tujuan untuk menjadi universitas riset, maka diperbolehkan untuk fokus pada publikasi ilmiah. “Begitu juga jika ada perguruan tinggi yang ingin menjadi kampus entrepreneur, dipersilahkan untuk mengedepankan hilirisasi produk sebagai sebuah standar kelulusan,” beber dia.

Agar Tak Stagnan Kembangkan Kampus

 

Sementara itu, Plt. Sesditjen Diktiristek, Kemendikbudristek, Tjitjik Srie Tjahjandarie, mengatakan transformasi standar nasional Dikti menjadi upaya serempak agar tidak terjebak dalam stagnansi pengambangan pendididkan tinggi.

Perubahan pola standarisasi lulusan menjadi sebuah respons dari adanya disrupsi pembelajaran di era sekarang ini. Sehingga, perguruan tinggi pun dituntut untuk mengedepankan pola pembelajaran yang lebih inovatif. "Jika melihat dinamika pembelajaran dunia sekarang, maka skripsi bukan satu-satunya [standar untuk lulus]," ujar Tjitjik kepada Gatra pada September lalu.

Sejatinya, persoalan ini pun sudah disadari beberapa perguruan tinggi. Beberapa kampus diketahui telah mempunyai opsi alternatif sebagai saluran kelulusan mahasiswanya. Tjitjik menyebut ada sebuah kesadaran bahwa skema skripsi tidak selalu cocok untuk diterapkan sebagai tugas akhir di beberapa bidang keilmuan tertentu.

Imbasnya, banyak program studi di perguruan tinggi yang secara terpaksa mendorong dirancangnya tugas skripsi sebagai tugas akhir, meskipun apa yang dikerjakan mahasiswa yang bersangkutan bisa saja lebih pada sebuah karya proyek.

"Permendikbudristek ini pun memberikan kekuatan. Bahwa kampus tidak perlu lagi mewajibkan skripsi sebagai tugas akhir. Rancang skema yang lebih fit terhadap bidang ilmu yang dipelajari," dia memaparkan.

Tjitjik meminta perguruan tinggi untuk bisa menyusun aturan turunan dari Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tersebut, guna memperkuat aturan main di masing-masing kampus. Karena menurutnya, SN Dikti yang diamanatkan Permendikbud merupakan sebuah aturan induk yang perlu dicacah ulang oleh tiap universitas, dengan menyesuaikan visi dan identitas masing-masing.

Akomodir Penyederhanaan Akreditasi

 

Disamping fleksibilitas, kebijakan transformasi pendidikan tinggi juga memungkinkan hadirnya mekanisme akreditasi yang makin sederhana. Skema terdahulu dipandang rumit, karena akreditasi perguruan tinggi maupun prodi memiliki beragam status lulusan, mulai dari tidak terakreditasi sampai unggul. Kini semua sudah disederhanakan dengan hanya menggunakan dua status: Terakreditasi dan Tidak Terakreditasi.

Satu terobosan yang tak kalah penting, kini biaya akreditasi wajib sudah ditanggung oleh pemerintah. Nizam menyebut, transformasi akreditasi ini diyakini menjadi fondasi untuk menghasilkan SDM unggul.

Hadirnya penyederhanaan akreditasi juga dipandang Direktur Dewan Eksekutif Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT) Ari Purbayanto, akan memberi ruang bagi perguruan tinggi untuk fokus pada visi dan misi yang dituju.

Saat ini, terdapat waktu dua tahun untuk menyesuaikan sistem akreditasi sesuai dengan amanat beleid teranyar. Ari menilai, akreditasi perguruan tinggi yang wajib hadir guna memastikan tiap kampus memenuhi standar minimum wajib dipenuhi.

“Karena tujuan SN Dikti tepat dalam menjamin penyelenggaraan pendidikan tinggi yang efektif dan sesuai dengan dinamika perkembangan zaman,” tutur Ari dalam sebuah webinar, Senin (23/10) lalu.

Transformasi Berfokus Kualitas

 

Upaya serentak stakeholder pendidikan tinggi atas transformasi pun menjadi kunci penting dalam upaya memajukan ekosistem pendidikan tinggi. Upaya yang coba dihadirkan melalui kebijakan Merdeka Belajar ke-26 ini pun mendulang dukungan.

Rektor IPB University, Arif Satria mengatakan, salah satu imbas yang disorotinya adalag berkurangnya beban dosen maupun kampus dalam persoalan administrasi. Sehingga, ruang gerak pada penyiapan SDM unggul pun kini dapat dijadikan fokus utama.

Upaya fleksibilitas yang dibawa beleid pun ia yakini selaras dengan visi peningkatan kompetensi dan keterampilan non teknis pada lulusan perguruan tinggi. Bukannya menurunkan mutu lulusan, Arif melihat kebijakan yang lebih lentur justru mengakomodir lulusan untuk berekembang sesuai dengan apa yang menjadi minat dan keunggulan mereka masing-masing.

“Transformasi standar lulusan yang diatur kebijakan Mas Menteri ini tidak menurunkan mutu lulusan. Justru membantu perguruan tinggi dalam menyiapkan SDM unggul yang sesuai perubahan masa depan,” tutur dia.

Selaras, transformasi yang dibawa dalam hal akreditasi pun mempunyai dampak positif. Rektor Universitas Negeri Padang, Ganefri, memandang kebijakan pemerintah dalam mengakomodir biaya akreditasi khusus untuk mencapai wajib akreditasi adalah langkah bijaksana.

“Pengkategorian akreditasi yang hanya dua status pun memungkinkan perguruan tinggi lebih banyak fokus pada peningkatan kualitas,” tegas pria yang juga Ketua Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (MRPTNI) ini.

Selain itu, pengurangan beban administratif dalam proses akreditasi juga ia yakini dapat memberikan waktu yang lebih banyak bagi dosen dan pegawai untuk berfokus pada pengajaran, penelitian, dan inovasi.

“Saya percaya bahwa langkah ini akan membantu perguruan tinggi lebih fokus dalam meningkatkan mutu dan memberikan dampak positif yang signifikan pada kualitas pendidikan serta pengembangan sumber daya manusia Indonesia,” ujar Ganefri menandaskan.

339