Home Hukum Pakar Tata Negara Nilai Ada Cacat Pikir Masyarakat Melihat Benar Tidaknya Hukum, Dibalik Putusan MK soal Capres-Cawapres

Pakar Tata Negara Nilai Ada Cacat Pikir Masyarakat Melihat Benar Tidaknya Hukum, Dibalik Putusan MK soal Capres-Cawapres

Jakarta, Gatra.com - Pakar ilmu tata negara sekaligus Dosen STHI Jentera, Bivitri Susanti mengatakan cara pandang dan penilaian masyarakat terhadap benar tidaknya hukum seringkali terbentur dengan hati nurani dan rasio berpikir manusia.

Bivitri menjelaskan, masyarakat diajarkan untuk memahami bahwa hukum adalah putusan pengadilan, peraturan, dan perundang-undangan yang berlaku. Namun, saat ini, putusan-putusan dan UU yang ada justru membuat masyarakat bertanya-tanya mengenai keabsahan hukum di balik semua itu.

Untuk mempermudah pemahaman, Bivitri menggunakan analogi “Paman” yang membengkokkan UU agar keponakannya bisa menjadi seorang calon wakil presiden (cawapres).

“Kita tahu dalam pikiran dan akal budi kita, ini salah. Tapi, karena hukum adalah putusan pengadilan, putusan MK, maka kita jadi harus berdebat dengan orang-orang yang menggunakan ‘paman’ untuk bilang bahwa putusan MK ini keliru,” ucap Bivitri Susanti dalam acara diskusi “Masa Depan Demokrasi Jika Dinasti Jokowi Menang” yang diadakan secara daring, pada Selasa (9/1).

Bivitri pun menjelaskan perdebatan yang terjadi untuk membuktikan salah atau tidak putusan MK ini.

“Kemudian, kita akan menunjukkan ada putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK) yang bilang bahwa ‘paman ‘bersalah dan putusan ini keliru,” lanjut Bivitri.

Namun, pihak pembela paman berdalih kalau putusan MKMK tidak mengubah putusan yang telah melanggengkan langkah si keponakan. Terlebih, putusan MK oleh ‘paman’ bersifat final dan mengikat sampai ada putusan baru yang mengoreksinya.

“Nah itu yang menggelitik sekali belakangan ini. Seakan-akan, semua orang bisa bersembunyi dibalik hukum. Seakan-akan hukum yang menentukan benar atau salah,” kata Bivitri.

Ia menegaskan, cara pandang ini terbalik. Seharusnya, hukum dibuat berdasarkan apa yang masyarakat pahami sebagai benar dan salah. Terlebih, hukum dibentuk oleh penguasa. Dan seringkali, hukum dibengkokkan dengan otoritas yang dimiliki si penguasa.

Putusan yang digunakan sebagai analogi tentu merupakan putusan nomor 90 yang melanggengkan pencalonan Gibran Rakabuming Raka untuk bertanding di Pilpres 2024.

Namun, Bivitri mengingatkan, bukan hanya putusan 90 yang membuktikan pelemahan MK. Ia menjelaskan, sebelum putusan 90 berlaku, ada banyak putusan-putusan lain yang juga bermasalah.

“Tapi sebelumnya, juga sudah ada beberapa putusan yang meniadakan aspek kontrol dari MK terhadap bagaimana kekuasaan dijalankan,” jelas Bivitri lagi.

Beberapa putusan ini antara lain, putusan UU Cipta Kerja, putusan UU IKN, dan putusan MK terkait perpanjangan masa jabatan Pimpinan KPK.

93