Home Hukum PKPA Peradi Jakbar, PBH Medan: Advokat Haram Janjikan Ini kepada Klien

PKPA Peradi Jakbar, PBH Medan: Advokat Haram Janjikan Ini kepada Klien

Jakarta, Gatra.com – Ketua Pusat Bantuan Hukum (PBH) Peradi Medan, Rumintang Naibaho, mengatakan, advokat tidak boleh atau haram hukumnya menjanjikan kepada kliennya bahwa perkaranya pasti menang.

“Para advokat jangan sekali-kali menyatakan perkaranya pasti menang dan kalau mengatakan itu sebuah pelanggaran kode etik saya kira,” ujar Rumintang dalam Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) Angkatan III gelaran DPC Peradi Jakarta Barat (Jakbar) dan Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) yang dihelat secara hybrid pada Jumat malam (1/3).

Ia menjelaskan, advokat tidak boleh menjanjikan pasti akan menang kepada kliennya karena seorang advokat yang juga penegak hukum dalam proses peradilan itu tugasnya mencari kebenaran materiil dan memberikan pembelaan sesuai ketentuan.

“Dalam proses peradilan bukan hanya semata-mata perkara itu harus menang, tapi harus mencari kebenaran materiil,” ucapnya.

Advokat dalam menangani suatu perkar termasuk yang sifatnya cuma-cuma atau probono bagi masyarakat miskin atau kurang mampu, harus menjelaskan suatu perkara dari sisi hukum.

“Kita [advokat] memberikan analisa-analisa yang dihadapi penerima bantuan hukum. Ini perkara yang akan kita perjuangkan, bukan perkara ini pasti menang,” ujarnya.

Advokat harus memberikan analisa hukum agar kliennya memahami duduk persoalan perkara yang dihadapinya dari sisi hukum atau aturan yang berlaku. Analisa tersebut setelah melihat dokumen-dokumen atau fakta-fakta yang diterimanya.

“Yang mendapat bantuan hukum itu akan memberikan dokumen untuk diperjuangkan, kemudian melihat dokumen lawan,” ujarnya.

Advokat juga harus memberikan pemahaman bahwa suatu perkara harus sesuai koridor hukum yang berlaku. Pasalnya, masih ada masyarakat yang berpandangan agar perkaranya bisa menang harus memberikan sesuatu kepada hakim atau jaksa.

“Itu harus kita berikan pencerahan agar mereka tidak apatis pada penegakan hukum. Kita harus memberikan pemahaman bahwa uang bukan penentu,” ucapnya.

Selain itu, Rumintang juga mengingatkan semua peserta PKPA angkatan III jika nanti menjadi advokat bahwa dalam menangani suatu perkara probono, kualitasnya harus sama seperti ketika menangani perkara nonprobono.

“Kalau kita memberikan probono bukan berarti dalam pelayanannya tidak profosional, ini tidak membedakan yang bayar dan cuma-cuma,” ujarnya.

Ia menjelaskan, advokat harus memberikan probono bagi masyarakat tidak mampu atau miskin atau tidak berdaya karena tidak semua masyarakat mempunyai materi atau uang untuk membayar honor advokat. Ini agar semua masyarakat mendapat keadilan dan terlindungi hak asasinya.

Kewajiban advokat memberikan probono, di antaranya sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Pasal 1 angka 3 UU Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma, dan Keputusan DPN Peradi No. Kep.016/PERADI/DPN/2009 tentang Pembentukan PBH Peradi serta Peraturan Peradi Nomor 1 Tahun 2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma.

“Semua advokat harus memberikan probono karena perintah undang-undang. Tiak ada alasan saya sudah pengacara gede, saya tidak harus memberikan bantuan hukum cuma-cuma. Ada kewajiban memberikan probono, bersifat cuma-cuma, sukarela, membantu masyarakat tidak mampu agar mereka mampu mempertahankan haknya tanpa memberikan sesuatu [honor] kepada advokat,” katanya.

Rumintang menjelaskan, advokat bisa memberikan probono dalam perkara litigasi dan nonlitigasi. Untuk nonlitigasi, lanjut dia, contohnya adalah advokat memberikan penyuluhan agar masyarakat melek hukum.

“Nonlitigasi itu bisa dalam bentuk penyuluhan, penelitian, pemberdayaan, pelatihan hukum, boleh juga kepada mahasiswa. Penerima bantuan hukm ini bisa individu, kelompok, dan masyarakat,” ujarnya.

Ia menyampaikan, PBH Peradi Medan memberikan probono nonlitigasi di antaranya penyuluhan hukum kepada warga di Kota Medan. Penyuluhan tersebut di antaranya mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Sedangkan litigasi, lanjut Rumintang, adalah perkara hukum yang muaranya di pengadilan, baik itu pengadilan negeri, PTUN, Pengadilan Niaga, Pengadilan Hubungan Industrian, dan seterusnya.

Sedangkan bolehkan seorang advokat menolak permohonan atau mengundurkan diri dari suatu perkara yang bersifat probono? Rumintang Naibaho, menyampaikan, hal itu dibolehkan dengan syarat.

“Advokat hanya dapat menolak untuk probono dengan alasan dan pertimbangan bahwa perkara [yang dimohonkan] tidak sesuai dengan keahlian [yang dimiliki advokat],” ujarnya.

Kemudian, bertentangan dengan hati nurani advokat dengan pertimbangan bukan atas dasar diskriminasi SARA, HAM, dan gender. Kemudian, perkara yang dimohonkan akan menimbulkan konflik kepentingan sebagaimana diatur perundang-undangan.

“Sedang menangani [perkara] probono lain di mana berdampak beban berlebihan dalam penanganan. Ini dibuktikan dengan bukti-bukti sedang menangani probono lain,” katanya.

Selanjutnya, sudah melebihi kuota probono, yakni 50 jam atau lebih dari perkara yang ditangani. Ini ditunjang dengan laporan, keterangan, dan atau lainnya bahwa telah memberikan minimal 50 jam probono. “Tetapi tatap menerima dan menangani lebih dianjurkan,” katanya.

685