Home Hukum LBH Transportasi: PO Bus Maut Tol Semarang-Bantang Harus Dimintai Pertanggungjawaban Hukum

LBH Transportasi: PO Bus Maut Tol Semarang-Bantang Harus Dimintai Pertanggungjawaban Hukum

Jakarta, Gatra.com – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Transportasi menyampaikan, Polda Jawa Tengah (Jateng), harus meminta pertanggungjawaban hukum dari pihak perusahaan PO Rosalia Indah (Rosin) dari buntut kecelakaan maut di Tol Semarang-Batang.

“Harus ikut bertanggung jawab, baik pidana maupun perdata atas kecelakaan di Tol Batang,” kata Hermawanto, Direktur LBH Transportasi, pada Selasa (16/4).

LBH Transportasi meminta Polda Jateng tidak melindungi pihak perusahaan oto bus dalam insiden bus nahas di KM 370 yang menewaskan 8 orang dan melukai sejumlah penumpang lainnya.

Sejauh ini, lanjut Hermawanto, Polda Jateng baru menetapkan sopir bus inisial JW sebagai tersangka setelah melakukan gelar perkara. Faktanya, setiap terjadinya kecelakaan selalu sopir yang disalahkan.

“Kepolisian tidak pernah menjadikan perusahaan/pemilik kendaraan sebagai tersangka, sehingga memunculkan image 'polisi melindungi perusahaan',” katanya.

Manajemen PO bus tersebut merupakan pihak yang harus ikut bertanggung jawab. Pasalnya, sesuai hasil temuan atau fakta dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) tidak ada penggantian pengemudi atau sopir bus maut tersebut.

Ketua KNKT, Soerjanto Tjahjono, menyampaikan, tidak ada pergantian sopir karena bus sempat diganti lantaran mengalami kerusakan. Adapun sopir cadangan ditugaskan mengawal bus yang rusak dan tidak ikut dalam bus pengganti.

Menurut Hermawanto, berdasarkan temuan KNKT tersebut, patut dicurigai, kecelakan terjadi karena kelalaian manajemen perusahaan PO bus dalam menerapkan prinsip-prinsip keselamatan transportasi.

“Setidaknya memastikan jam kerja pada sopir dan adanya sopir cadangan karena faktanya sopir menjalankan kendaraan sendirian dan telah mengalami kelelahan,” ujarnya.

Hermawanto menjelaskan, pihaknya menilai bahwa pemilik atau manajemen PO bus harus dimintai pertanggungjawaban hukum. Ini sebagaimana ketentuan Pasal 141 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), yakni Ayat (1) Perusahaan Angkutan Umum wajib memenuhi standar pelayanan minimal yang meliputi: (a) keamanan; (b) keselamatan; (c) kenyamanan; (d) keterjangkauan; (e) kesetaraan; dan (f) keteraturan.

“Pasal 142 Ayat (1) UU LLAJ merumuskan 'Perusahaan Angkutan Umum wajib membuat, melaksanakan, dan menyempurnakan sistem manajemen keselamatan dengan berpedoman pada rencana umum nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan',” ujarnya.

Pengenaan proses hukum pidana kepada perusahaan sejalan dengan ketentuan UU Republik Indonesia (RI) Nomor 22 Tahun 2009 tentang LLAJ yang memberikan ketentuan kewajiban dan sanksi kepada pemilik/perusahaan angkutan umum, seperti Pasal 234, 235, dan 315 UU LLAJ.

Adapun Pasal 234 Ayat (1), yakni: Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian Pengemudi.

Selanjutnya, Pasal 235 Ayat (1): Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 Ayat (1) huruf c, Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana.

Pasal 315 Ayat (1): Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Perusahaan Angkutan Umum, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap Perusahaan Angkutan Umum dan/atau pengurusnya.

Ayat (2)-nya, Dalam hal tindak pidana lalu lintas dilakukan Perusahaan Angkutan Umum, selain pidana yang dijatuhkan terhadap pengurus sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), dijatuhkan pula pidana denda paling banyak dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini.

Adapun Ayat (3): Selain pidana denda, Perusahaan Angkutan Umum dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pembekuan sementara atau pencabutan izin penyelenggaraan angkutan bagi kendaraan yang digunakan.

Berdasarkan rumusan ketentuan UULLAJ tersebut dan temuan KNKT, sudah sepatutnya pemilik kendaraan/perusahaan PO bus ditarik sebagai tersangka sebagai pihak yang turut serta berkontribusi terjadinya kecelakaan tersebut, karena kelalaiannya menerapkan manajemen keselamatan lalu lintas.

“Ikut prihatin atas terjadinya kecelakaan tersebut yang menimbulkan korban meninggal dunia dan luka-luka,” katanya.

LBH Transportasi juga meminta Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) memantau dan mengawasi secara serius kinerja Polda Jateng dalam proses hukum atas kecelakaan bus Po Rosalia Indah.

Kemudian, meminta Kementerian Perhubungan (Kemenhub) bertindak secara serius, melakukan evaluasi dan membekukan izin operasional untuk memberikan pembelajaran kepada semua perusahaan transportasi agar menaati ketentuan manajemen keselamatan transportasi.

“Meminta KNKT untuk mempercepat hasil investigasinya, agar hasilnya bermanfaat untuk proses hukum, bukan sekedar administratif semata,” katanya.

Terkait hal ini, Gatra.com masih berupaya mengonfirmasi pihak terkait. Sebelumnya, Manajemen PO Rosalia Indah menyatakan, akan mematuhi semua proses hukum yang tengah berjalan setelah pihak kepolisian menetapkan sopir busnya sebagai tersangka.

Public Relations PO Rosalia Indah, Yofie Aganovic, dalam keterangan pers, menyampaikan, pihaknya mempunyai SOP yang jelas dan ketat. Salah satunya bahwa tidak ada sopir yang mengemudi lebih dari 8 jam.

Ia menjelaskan, hal itu dikarenakan adanya kebijakan 2 sopir di setiap bus antarprovinsi. Namun demikian, pihaknya terus melakukan pemeriksaan untuk mengungkap potensi faktor kesalahan manusia (human error). “Semua SOP ditegakkan tanpa toleransi,” ujarnya.

15