Home Politik Komnas: Peradilan Gagal Lindungi Korban Pelecehan Seksual

Komnas: Peradilan Gagal Lindungi Korban Pelecehan Seksual

Jakarta, Gatra.com - Komnas Perempuan menyesalkan putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak Peninjauan Kembali (PK) Baiq Nuril, korban pelecehan seksual dari Nusa Tenggara Barat (NTB).

Komnas menilai peradilan saat ini gagal dalam memberikan keadilan bagi korban kekerasan seksual.

"Komnas Perempuan menyesalkan tidak digunakannya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum," ujar Wakil Ketua Komnas Perempuan, Budi Wahyuni di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Senin (8/7).

Perma 3/2017 merupakan aturan dalam sistem hukum di Indonesia dalam mengenali hambatan akses perempuan pada keadilan. Aturan ini sekaligus sebagai langkah afirmasi dalam menciptakan kesetaraan seluruh warga negara di hadapan hukum.

"Kami juga menyesalkan Polda NTB yang menghentikan kasus perbuatan cabul yang dilaporkan BN," jelasnya.

Wahyuni mengatakan bahwa dihentikannya kasus ini akibat ketidakmampuan aparat dalam menerjemahkan batasan perbuatan cabul dalam KUHP ke dalam penyidikan kasus BN. Sebab, aparat hanya memahami perbuatan cabul sebagai tindak perbuatan yang dilakukan dengan kontak fisik.

"Jika seperti ini, maka korban dari kasus kekerasan seksual non fisik, tidak akan pernah terlindungi," ungkap Wahyuni.

Komnas Perempuan sendiri menafsirkan kekerasan seksual tidak hanya terjadi secara fisik, tetapi juga non fisik. Pelecehan seksual non fisik di antaranya adalah intimidasi, ancaman dan ujaran yang bersifat seksual baik secara langsung ataupun menggunakan media sosial, yang berakibat pada kerugian.

Mahkamah Agung sebelumnya menolak permintaan peninjauan kembali (PK) yang diajukan BN, terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dengan ditolaknya permohonan PK tersebut maka putusan kasasi MA berupa hukuman enam bulan penjara atas BN dinyatakan tetap berlaku.

BN selaku pemohon PK dinyatakan bersalah karena merekam pembicaraan via telepon seluler antara Kepala SMAN 7 Mataram, H Muslim dengan BN. Dalam komunikasi via telepon tersebut terdapat unsur pelecehan seksual terhadap BN.

Rekaman tersebut kemudian disimpan Baiq Nuril dan diserahkan kepada seseorang bernama Imam Mudawin. Imam memindahkan bukti rekaman tersebut dan disimpan secara digital di laptop-nya, hingga tersebar luas.

Mahkamah Agung melalui Majelis Kasasi yang dipimpin Hakim Agung Sri Murwahyuni, pada 26 September 2018, menjatuhkan vonis hukuman kepada Baiq Nuril selama enam bulan penjara dan dendaRp 500 juta subsider tiga bulan kurungan.

Dalam putusannya, majelis hakim menganulir putusan pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Mataram yang menyatakan BN bebas dari seluruh tuntutan dan tidak bersalah melanggar pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 19/2016 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

BN kemudian mengajukan PK namun ditolak. Perkara ini diputus oleh majelis hakim PK yang diketuai Suhadi, dengan hakim anggota Margono dan Desnayeti.

 

 

 

 

456