Home Politik Dirut BPODT: Silakan Masyarakat Tempuh Jalur Hukum

Dirut BPODT: Silakan Masyarakat Tempuh Jalur Hukum

Toba Samosir, Gatra.com - Terkait klaim masyarakat atas tanah di kawasan Sigapiton, Toba Samosir (Tobasa), Direkrur Utama Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) Arie Prasetyo meminta masyarakat menempuh jalur hukum. Pihaknya mengklaim bahwa lahan tersebut harus dibawah pengelolaan BPODT untuk pengembangan pariwisata di Desa Pardamean Sibisa, Kecamatan Ajibata, Tobasa.

Arie Prasetyo mengatakan bahwa pada prinsipnya, BPODT adalah selaku pelaksana program dan sudah memiliki sertifikat atas tanah tersebut. "Hari ini kita bersama dengan kementerian pekerjaan umum (PU) memulai pembangunan jalan akses. Dimana salah satu tugas BPODT adalah pengembangan kawasan pariwisata. Kalau di peraturan presiden (Perpres) namanya kawasan otorita," jelasnya, Kamis (12/9).

Baca Juga: Kawasan Sigapiton Toba Samosir Bukan Tanah Pemerintah

Lebih rinci ia menjelaskan, kawasan yang dimaksud adalah seluas 386,72 hektare. Dari total luas itu, seluas 279 hektare sudah diterbitkan pemerintah sertifikat hak pengelolaan lahan (HPL). "Artinya aset itu tetap milik pemerintah dan hak pengelolaanya BPODT," terangnya.

Kawasan ini, nantinya akan dilakukan pengembangan kawasan wisata. Akan dibangun sarana pendukung pariwisata seperti, hotel, pusat kuliner dan pertunjukan budaya lokal yang berkualitas. "Ada juga rumah sakit dan pengembangan kawasan seperti di Nusa Dua Bali," tambahnya.

Baca Juga: Tanah Adat Dirampas, Kaum Ibu Telanjang

Sekaitan dengan keberatan masyarakat atas pembukaan akses jalan ini, Arie mengatakan, yang dibuka adalah tahap pertama sepanjang 1,9 kilometer. Serta pembukaan lahan yang sudah bersertifikat, yakni di atas lahan 279 hektare.

"Prinsipnya adalah kami membangun jalan diatas lahan negara dengan anggaran kementerian PU. Dan anggarannya dari Anggaran Perencanaan Belanja Negara (APBN). Jadi tidak ada yang salah disitu," tuturnya.

Baca Juga: Proyek KSPN Danau Toba Rampas Tanah Adat Desa Sigapiton

Ia juga menerangkan, bahwa lahan yang dibangun saat ini dulunya adalah hutan. Lahan ini kemudian diberikan oleh kementerian lingkungan hidup untuk dikelola untuk pengembangan pariwisata.

Ia membantah ada hak masyarakat di atas lahan. Yakni berupa tumbuhan yang tegak di atas lahan. Seperti tanaman kopi, durian, alpukat, dan lainya. "Nah inikan hak masyarakat yang selama ini menam di hutan. Jadi ini akan diganti rugi oleh pemerintah. Sudah dibentuk tim terpadu. Prosesnya juga sudah berjalan sekitar 60-70 persen.

Baca Juga: BPODT Klaim Tanah di Sileang-leang, Sigapiton Milik Mereka

Pihaknya saat ini sedang menunggu proses penghitungan ganti rugi tanaman tegak di atas lahan. Bahkan, menurutnya, sosialisasi kepada masyarakat juga sudah dilakukan dan melibatkan masyarakat dan pemerintah desa. "Sudah teridentifikasi masyarakat pemiliknya. Kita sosialisasikan dengan mengumpulkan masyarakat pada hari Senin (6/9) lalu," imbuhnya.

Saat ini, pihaknya sedang menunggu hasil penghitungan nilai tanaman yang dimaksud. Jika nanti hasilnya sudah didapatkan maka ganti rugi akan segera dibayarkan kepada masyarakat. Ini merupakan penyelesaian dampak sosial yang terjadi dari pembangunan.

Baca Juga: Masyarakat Hukum Adat Minta Hutan Adatnya Dikembalikan

Apa yang dilakukan, menurutnya, semuanya secara transparan. Pembangunan dilakukan dalam upaya percepatan. "Anggaran sudah diturunkan maka kita mulai membangun. Sekarang kalau ada klaim keberatan masyakat silakan menempuh jalur hukum saya pikir. Karena negara kita kan negara hukum, sampaikan saja kepada pihak terkait," tegasnya.

Reporter: Jon RT Purba

1370