Home Kesehatan Virus Corona, Habib Luthfi, dan Black Death

Virus Corona, Habib Luthfi, dan Black Death

Yogyakarta, Gatra.com - Pemerintah harus mendekati secara personal tokoh agama dengan banyak pengikut agar mengikuti langkah pencegahan penyebaran virus Corona Covid-19. Umat beragama bisa berkaca dari peristiwa Black Death yang turut menghantam dunia Islam.

Hal itu disampaikan pengajar Fakultas Ilmu Budaya dan peneliti Program Studi Agama dan Lintas Budaya atau CRCS Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Achmad Munjid.

Ia menyayangkan sejumlah tokoh dan kelompok agama yang tak mematuhi langkah pencegahan Covid-19 untuk tak beribadah bersama di satu tempat dan tak menjaga jarak.

"Ini bukan fenomena satu agama, tapi karena ada perbedaan pandangan agama dalam satu agama. Pandangan ini percaya bahwa takdir manusia sudah digariskan," ujar Munjid saat dihubungi Gatra.com, Selasa (24/3).

Salah satu kejadian yang ramai di media sosial adalah Pengajian Kliwonan di Pekalongan, pada 20 Maret. Acara itu dipimpin Habib Muhammad Luthfi bin Yahya, seorang tokoh agama Islam terkemuka dari ormas Nahdlatul Ulama.

Warganet menyayangkan sikap anggota Dewan Pertimbanhan Presiden (Wantimpres) ini yang semestinya mendukung langkah pemerintah mencegah penyebaran Covid-19 dengan tak menggelar acara yang dihadiri banyak orang di satu tempat tanpa menjaga jarak.

Menurut Munjid, kejadian itu menegaskan bahwa pandangan agama menentukan respons tokoh agama terhadap Covid-19 ketimbang faktor politik.

Apalagi sejumlah tokoh agama Islam yang secara politik cenderung berseberangan dengan pemerintah, seperti Riziq Shihab dan Abdullah Gymnastiar, justru mematuhi pemerintah dalam pencegahan Covid-19

"Padahal pandangan dominan umat Islam di Indonesia itu tetap percaya takdir tapi juga percaya ada ikhtiar yang menentukan. Apalagi ada perintah Nabi Muhammad untuk menjauhi tempat yangterserang wabah," ujar Munjid.

Munjid lantas mengingatkan pada peristiwa Black Death atau Maut Hitam saat wabah pes terjadi di Eropa pada abad 14. Sedikitnya sepertiga warga Eropa jadi korban pandemi itu. Wabah ini juga lantas menjalar ke negara-negara Islam di Afrika, jazirah Arab, hingga Turki.

Dari penelusuran literatur Munjid, di luar aspek medis dan mobilitas manusia kala itu yang masih minim, umat Islam juga tak sedikit turut menjadi korban wabah itu.

"Saat itu umat Islam percaya penyakit itu datang dari Tuhan. Anjuran Nabi (Muhammad) untuk menjauh dari penyakit kala itu masih dianggap umum ketimbang tafsir-tafsir ulama yang percaya pada takdir semata," kata dia.

Kala itu, suatu wabah atau penyakit juga cenderung tak dilihat dari kacamata sains. "Wabah dianggap azab atau hukuman untuk orang kafir atau musuh Islam. Karena merasa lebih baik, umat Islam kala itu lengah dan akhirnya kena wabah juga," ujarnya.

Saat ini, pandangan terakhir tersebut selaras dengan pemikiran bahwa virus Corona adalah bentuk konspirasi, misalnya upaya Amerika Serikat untuk menyerang musuh-musuhnya seperti Cina dan Iran.

"Kalau fakta dibaca dengan logika seperti ini, akhirnya kita menyepelekan, lalai, dan bisa kena juga," ujar Munjid.

Munjid memperkirakan tokoh dan kalangan agama yang tak mengikuti pencegahan Covid-19 kurang mendapat penjelasan soal virus Corona dari aspek medis. Pemerintah mesti mendekati tokoh-tokoh agama ini secara personal dan melibatkan pakar medis.

"Padahal kondisi (beribadah bersama) saat wabah Corona ini bisa dijelaskan secara mudah seperti saat tak berpuasa ketika bulan Ramadan. Jika kondisi fisik seseorang tak memungkinkan bahkan membahayakan tubuhnya, puasa Ramadan itu justru bisa jadi haram," tuturnya.

8440