Home Gaya Hidup Beginilah Sulitnya Mengelola Komunitas Film

Beginilah Sulitnya Mengelola Komunitas Film

Purbalingga, Gatra.com - Mengelola komunitas film ternyata tak semudah membalik telapak tangan. Selain harus konsisten memproduksi karya, mereka juga harus mampu bertahan hidup.

Direktur Cinema Lovers Community Purbalingga, Bowo Leksono mengaku sudah terbiasa dengan kondisi kekurangan dana selama kurang lebih 14 tahun mengelola komunitas film. Bahkan, kadangkala, mereka kesulitan untuk membiayai Festival Film Purbalingga (FFP) yang sudah berjalan selama 13 tahun.

"Mengelola komunitas film itu risikonya adalah mereka harus melakukan proses dari hulu ke hilir, ya memutar film, memproduksi, mendistribusikannya, sampai mengawal proses pembuatan film yang dibuat para yunior. Lingkaran itu harus dijalani ketika ingin eksistensinya berlanjut," ujarnya pada focus grup discussion (FGD) bertajuk "Aktivisme Kultural Perfilman Independen Banyumas" di Purbalingga, Selasa (30/7).

Menurut dia, komunitas film serupa dengan komunitas kreatif lainnya contohnya, grup musik. Bila mereka tak mampu memasarkan lagu yang sudah dibuat dengan cara menggelar konser atau merilis lagu, maka band tersebut akan kesulitan mempertahankan eksistensinya.

Bowo mengatakan, idealnya, ekosistem semacam ini seharusnya sudah menjadi tugas pemerintah sebagai fasilitator. Sebab, para pembuat karya belum tentu mampu memikirkan alur perputaran dalam industri kreatif perfilman tersebut.

"Ini harus disadari oleh orang yang sedang dan akan masuk di dunia komunitas film. Tidak hanya berpikir cara membuat filmnya, tapi juga cara distribusinya, menjaga kualitas agar bisa bersaing di festival film hingga menggodok calon pembuat film baru mulai dari kalangan pelajar," katanya.

Sementara itu, pegiat komunitas Sangkanparan Cilacap, Insan Indah Pribadi, menyebut pemerintah, baik daerah maupun pusat, cenderung abai untuk memfasilitasi kebutuhan komunitas. Meskipun berkali-kali pegiat film turut mengangkat nama daerah melalui karya mereka.

"Komunitas yang berpedoman untuk membuat film sebagai karya ya andalannya ikut kompetisi dan berharap jadi juara. Hasilnya bisa untuk penghidupan. Saat memutar film karya, masih gratis," katanya.

Menurutnya, komunitas tidak pernah menarik tiket karena itu akan membebani penonton. "Soal tiket ini, masih membutuhkan proses penyadaran seluruh elemen masyarakat bahwa karya yang dibuat itu berkualitas dan menggunakan dana yang tidak sedikit," ujarnya.

Dari pengalaman Insan, setiap komunitas film di daerah memiliki caranya tersendiri untuk bertahan hidup. Baik dari segi menjaga kontinuitas karya serta menjaga dapur tetap mengebul.

Pegiat film Sinema Kedung Kebumen, Puput Juang, menuturkan bahwa tantangan terbesar untuk berkarya bukan hanya datang dari masalah internal. Pihak eksternal juga turut memengaruhi keberlangsungan film.

"Contohnya saat membuat film 'Melawan Arus' yang bercerita tentang perebutan tanah di Urut Sewu Kebumen. Kami sempat ditanya-tanya oleh pihak sekolah karena mereka khawatir film tersebut bakal berdampak negatif," katanya.

Dosen Universitas Bina Nusantara Jakarta, Tri Adi Sumbogo, mengatakan, keberadaan komunitas film di eks-Karesidenan Banyumas cukup menarik untuk dicermati. Pasalnya, mereka mampu menjaga eksistensi selama belasan tahun dan menghasilkan karya yang sering menjuarai berbagai kompetisi film.

"Meski berhasil eksis, ternyata mereka juga memiliki kegelisahan tersendiri di komunitasnya. Diskusi terfokus kali ini berupaya untuk melihat perjalanan mereka selama beberapa tahun ke belakang dan berusaha mencari jawaban dari persoalan yang dihadapi," kata dia.

1011