Home Hukum Dijen Kebudayaan: Kerajaan Palsu Tidak Rusak Kebudayaan

Dijen Kebudayaan: Kerajaan Palsu Tidak Rusak Kebudayaan

Jakarta, Gatra.com - Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Hilmar Farid menilai fenomena munculnya kerajaan-kerajaan yang tengah bermunculan belakangan ini tidak merusak unsur kebudayaan yang telah ada di Indonesia.
 
Hilmar mengatakan, fenomena tersebut merupakan salah satu cara pengekspresian masyarakat terhadap sejarah-sejarah yang ada di Tanah Air. Namun, menurut Hilmar, akan menjadi masalah jika kegiatan tersebut justru menjurus ke arah-arah kriminalitas dan menimbulkan dampak kerugian yang diterima oleh masyarakat.
 
"Dari sisi saya, saya tidak  menganggap hal itu sebagai problem kebudayaan. Menurut saya tidak ada yang aneh, itu cara mengekspresikannya saja dan tentu bermacam-macam. Nah, masalahnya kan kalau sudah ada urusan pengumpulan dana dan segala yang merugikan. Lah ini kan skemanya jadi lain, ketika dia sudah mengumpulkan dana, menipu orang, atau membuat tentara. Semacam ini akan mengancam dan merugikan. Tapi, dari sisi kebudayaaan, saya tidak lihat problemnya," kata Hilmar di Jakarta, Senin (20/1/2020).
 
 
Hilmar menambahkan, Fenomena kemunculan "pengakuan" atas kerajaan atau hal-hal yang berkaitan dengan kesejarahan memang terus bermunculan dari waktu ke waktu. Dan bahkan, fenomena seperti ini tidak hanya terdapat di Indonesia. Beberapa wilayah dunia lain pun juga terdapat fenomena seperti ini.
 
Hilmar menilai fenomena tersebut justru hadir karena adanya krisis identitas dalam masyarakat dan juga didorong oleh kesulitan ekonomi dan kehidupan masyarakat. Sehingga, sekeolompok orang memanfaatkan hal tersebut dengan membuat gelombang masyarakat yang mengidentifikasi diri sebagai kejayaan masa lalu.
 
Baca juga: Kapolda Jateng: Keraton Agung Sejagat Murni Tindak Kriminal

"Saya pikir yang jelas terlihat kan, Ada kerinduan akan identitas. Jadi, orang banyak mencari jati diri mereka ini siapa. Kalau kita lihat dalam konteks sekarang ini adanya krisis identitas. Inikan biasanya berkaitan dengan kesusahan hidup, persoalan krisis identitas, dan memang banyak kebanyakan problemnya berada diluar kebudayaan. Nah, jadi problem jika sudah mengumpulkan dana orang, menipu, atau membuat tentara," jelas Hilmar.

"Tapi ini kan menjadi bagian dari proses pendidikan publik juga. Saya kira apa yang sekarang di lakukan juga dapat membuat orang melek juga. Bahwa yang seperti ini bisa jadi problem dan merugikan," pungkas Hilmar.
190