Home Gaya Hidup Minimalis Bikin Lega

Minimalis Bikin Lega

Singkirkan barang yang tak lagi digunakan, beli yang dibutuhkan. Gaya hidup minimalis membawa dampak baik bagi kesehatan mental.


Kamar berkelir abu-abu ukuran 3x3 meter itu tampak sepi. Di dalamnya hanya diisi satu ranjang, satu lemari plastik, tiga rak susun, dan cermin yang tidak terlalu besar. Di atas lemari, tampak keranjang kecil untuk menaruh perlengkapan kecantikan. Nuansa kamar menunjukkan si empunya kamar, Astrid Nur Utami, tak menyimpan banyak barang. Ia melakoni gaya hidup minimalis.

Astrid mengaku, memulai gaya hidup minimalis sejak kuliah tingkat kedua tahun 2013 di Universitas Padjajaran, Bandung. Awalnya, ia memulai gaya hidup ini karena merasa barang di kamar kosnya sangat banyak. Ia lantas mulai mengurangi barang-barang tersebut. "Nah, saat itu saya merasa enak banget kalau barangnya lebih sedikit. Tempatnya jadi lebih lega," katanya kepada Erlina Fury Santika dari GATRA, Jumat pekan lalu.

Adapun barang-barang yang disingkirkan, yaitu baju, buku-buku yang sudah dibaca, peralatan makan, hingga sepatu. Beberapa barang itu ada yang ia bawa pulang ke rumahnya. Sisanya, dijual atau disumbangkan. Astrid mengaku, hampir 50% barang yang ia singkirkan adalah baju. Ia bahkan sudah mempunyai prinsip tersendiri: satu baju masuk, satu baju harus keluar atau disingkirkan.

Perempuan berusia 27 tahun itu mengatakan, gaya hidup minimalis mengubah pola konsumsinya. Hal ini membuat ia terbiasa berhemat dan hanya akan membeli barang sesuai kebutuhan saja. Manfaat lain yang ia dapatkan dari gaya hidup ini, salah satunya kesehatan mental. Menurutnya, ia jauh lebih tenang ketika keberadaannya tak dikelilingi oleh banyak barang. 

Semenjak menerapkan hidup minimalis, Astrid juga tak "melankolis" terhadap barang. Artinya, sekalipun barang tersebut memiliki kenangan atau nilai sejarah, akan tetap ia buang selama tak punya fungsi lebih. Astrid pun terbiasa membersihkan isi gawainya, agar tidak terlalu penuh. "Aplikasi yang saya punya juga yang saya butuhkan saja," katanya sambil menunjukkan isi gawainya yang minimalis.

Gaya hidup minimalis tak hanya dilakoni Astrid. Bahkan, gaya hidup ini punya komunitas. Namanya Lyfe With Less. Komunitas ini dicetuskan oleh Cynthia Suci Lestari.

Gaya hidup minimalis, kata Cynthia, merupakan seni menjalani hidup yang membuat manusia bisa berbahagia dengan hidup berkecukupan dan bijak dalam berkonsumsi. Esensi dari gaya hidup minimalis mencakup tiga hal, yaitu cukup, pilah, dan sadar.

Cukup, berarti tidak berlebihan. Pilah, berarti bagaimana kita mengenali kebutuhan kita: mana yang mau disimpan dan mana yang disingkirkan. "Sadar, berarti selalu hadir dan bijak dalam berkonsumsi," kata Cynthia kepada M. Almer Sidqi dari GATRA melalui pesan surelnya. Sekarang sudah tahun kelimanya menjalani kehidupan minimalis. Ia memulainya sebagai salah satu cara menghadapi quarter life crisis.

Proses pemilahan barang-barang (decluttering) membantu Cynthia dalam self-healing therapy menghadapi berbagai persoalan. Decluttering tidak hanya membuat ruangan menjadi lebih lapang, tetapi juga pikiran dan hati ikut merasa lega. "Efeknya nagih dan sangat positif bagi diri saya," ujarnya.

Dua tahun silam, tidak mudah mencari informasi tentang apa itu gaya hidup minimalis. Dari situ, Cynthia terdorong untuk mengampanyekan dan membagikan cerita tentang gaya hidup minimalis. Ia kemudian membuat akun Instagram @lyfewithless pada Desember 2018. 

Lewat slogan Lyfe With Less, Cynthia menyampaikan bahwa gaya hidup minimalis merupakan gaya hidup yang praktiknya mudah dan baik dilakukan sehari-hari. Aneka konten Lyfe With Less bisa diakses lewat berbagai platform seperti www.lyfewithless.com, akun Instagram @lyfewithless, dan podcast Lyfe With Less yang bisa didengarkan di Spotify, Anchor FM, Breaker, dan Google Podcast.

Kini, makin hari makin banyak yang mengenal dan menyebarkan konten tentang gaya hidup minimalis. Pertemuan tatap muka juga diagendakan sebulan sekali, bernama "LWL Meet Up!" Namun, acara ini tertunda sejak gempuran pandemi Covid-19.

"Pertama kali mengadakan kopi darat tanggal 29 Februari 2020, bersama dengan 25 orang yang hadir," ujar Cynthia. Pada tiap kesempatan, LWL membahas tema-tema tertentu terkait gaya hidup minimalis, antara lain "Minimalist Mom to be", "Minimalist Ramadan", dan "Berlepas dari Impulsive Buying".

Secara mendasar, ada rumus yang kerap diterapkan Cynthia. Jika ingin membeli suatu barang, prinsip dasarnya ada dua: beli karena butuh dan beli karena diidamkan. Jika tidak ada salah satu dari keduanya, tidak perlu dibeli. Di sisi lain, ia juga menganjurkan agar orang memiliki kriteria tambahan, yaitu sustainable (berkelanjutan). Hal itu bertujuan agar gaya hidup minimalis juga diiringi dengan kepedulian terhadap lingkungan. 

Agar terbiasa melakukan decluttering, maka harus dijalankan secara rutin. Bagi Cynthia, mengadaptasi suatu gaya hidup tertentu merupakan proses seumur hidup. Kuncinya, yaitu konsisten. "Barang-barang yang disingkirkan bisa dijual, disumbangkan, ditukar, atau diberikan kepada saudara atau teman terdekat yang membutuhkan," katanya.

***

Meski terlihat sederhana karena lebih mengutamakan kualitas, gaya hidup minimalis dinilai sebagian orang tak selalu baik bagi kesehatan mental. Tak sedikit orang yang justru merasa tersiksa ketika menjalani gaya hidup tersebut.

Menurut Psikiater, Lahargo Kembaren, gaya hidup apa pun sebetulnya bisa saja berdampak baik bagi kesehatan mental kita. Asalkan, gaya hidup yang dipilih bisa membuat kita bahagia. "Jadi, kita harus coba untuk melihatnya, bagaimana kita bisa merasakan bahagia," ujarnya ketika dihubungi Wartawan GATRA, Dwi Reka Barokah.

Lahargo menuturkan, sebaiknya tidak kaku dalam memilih gaya hidup. Baik minimalis maupun konsumtif, bisa dijalani sesuai kebutuhan. Artinya, menjalani gaya hidup disarankan yang fleksibel. Sesekali tak masalah menjadi orang konsumtif jika dengan membeli suatu barang mahal, bisa menimbulkan kebahagiaan dan barang tersebut bermanfaat bagi kehidupannya.

"Fleksibilitas ini baik untuk kesehatan jiwa kita. Kita tidak kaku untuk bergaya hidup minimalis terus atau konsumtif terus, berarti kita mencoba untuk naik dan turun dari kehidupan sesuai dengan yang kita butuhkan," tutur Lahargo.

Dokter dari Rumah Sakit Siloam Bogor itu, juga memberi tips supaya tidak salah dalam menjalani gaya hidup. Pertama, membiasakan diri menjadi orang yang responsif, bukan reaktif. Orang responsif akan berpikir sebelum memutuskan membeli suatu barang. Ia akan menganalisis, apakah barang tersebut benar-benar dibutuhkan dan tidak membuat arus keuangannya kacau. Sifat seperti ini berbeda dengan orang reaktif yang akan memutuskan dengan cepat ketika membeli sesuatu.

Kedua, tidak melakukan komparasi dengan kehidupan orang lain. Banyak orang tak sadar bahwa gaya hidup yang dijalaninya merupakan refleksi dari komparasi kehidupan orang lain. Lahargo mengatakan, hal tersebut sebenarnya tidak baik bagi kesehatan mental. Meskipun gaya hidup yang dipilihnya bisa membuat bahagia, tetapi kebahagiaan itu semu. Sebab, ia hanya merasa bahagia ketika mendapat perhatian orang lain.

"Kebahagiaan itu harusnya kita sendiri yang memilih, bukan ditentukan oleh orang lain. Artinya, pikiran, perasaan kita, merasa bahagia. Nah, itu sudah merupakan salah satu ciri bahwa kita sehat jiwa," Lahargo berujar.

Fitri Kumalasari