Home Gaya Hidup Keraton Yogya Bangun Benteng Baru Rp4,8 M Setelah Dua Abad

Keraton Yogya Bangun Benteng Baru Rp4,8 M Setelah Dua Abad

Yogyakarta, Gatra.com - Keraton Yogyakarta membangun benteng baru senilai Rp4,8 miliar sejak hancur 208 tahun silam. Dalam sejarah, benteng ini diakui lebih kuat daripada benteng Belanda.

Proyek di bekas sudut benteng sisi utara-timur Keraton Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, ini bagian dari revitalisasi bangunan keraton tersebut. Bangunan ini hancur pada 1812 atau 208 tahun lalu saat Yogyakarta diserang tentara Inggris dalam peristiwa yang dikenal sebagai Geger Sepehi.

Akibatnya, saat ini hanya ada tiga Pojok Beteng atau Jokteng di sudut Keraton Yogyakarta. Tahun ini, Pemda DIY dan Keraton membangun kembali bangunan yang akan diberi nama Jokteng Lor Wetan itu.

Kontrak pembangunan Jokteng Lor Wetan selesai pada hari ini, Jumat (24/7). “Tapi masih ada masa pemeliharaan. Nilainya Rp4,8 miliar, dari rencana Rp6,2 miliar,” ujar Kepala Dinas KebudayaanDIY Aris Eko Nugroho kepada wartawan, kemarin.

Aris menjelaskan, anggaran proyek ini berasal dari Dana Keistimewaan atau danais yang khusus diberikan pemerintah pusat ke Pemda DIY. Danais dikucurkan oleh Pemda DIY ke Keraton Yogyakarta dalam bentuk hibah.

Menurut Aris, Keraton Yogyakarta yang melalukan lelang proyek. “Ini berupa hibah uang untuk Keraton. Mekanismenya tetap lewat pengadaan barang dan jasa. Di Keraton, ada petunjuk teknis tentang pengadaan barang,” tuturnya.

Selain proyek benteng ini, dua proyek lain juga dibiayai hibah dari danais, yakni perbaikan Masjid Gede Kauman senilai Rp2,6 miliar dan pendirian pagar di Alun-alun Utara sebesar Rp2,3 miliar.

Proyek pagar dan Pojok Beteng berakhir pada akhir Juli ini, sedangkan rehabilitasi Masjid Gede pada medio Agustus 2020. “Ketiganya dilelang keraton. Total dana hibah danais terakhir (2020) sekitar Rp76 miliar untuk Keraton dan Rp24 miliar untuk Pura Paku Alaman,” tutur Aris.

Peneliti sejarah Yosef Kelik menilai revitalisasi benteng Keraton Yogyakarta itu patut diapresiasi dari sisi pemahaman sejarah. Apalagi benteng yang dibangun atas prakarsa Sri Sultan Hamengku Buwono II semasa masih Adipati Anom atau putra mahkota ini pernah diakui pihak Belanda lebih kuat daripada benteng pihak Belanda di Yogyakarta.

“Setidaknya kita yang hidup di abad 21 ini bisa lebih bisa membayangkan kemegahan Yogyakarta pada masa jayanya sebagai ibu kota kasultanan pada medio abad 18 hingga awal abad 19,” ujar Kelik kepada Gatra.com.

Namun, revitalisasi Jokteng juga menjadi refleksi dan monumen pembelajaran. “Di masa lalu, kekurangkompakan anak bangsa dalam peristiwa Geger Sepehi adalah sumber kelemahan dan akhirnya kekalahan kala berhadapan dengan musuh,” tuturnya.

8858