Home Milenial Kegamangan Peneliti, Terbatasnya Dana Riset, Dilema Penguatan BRIN

Kegamangan Peneliti, Terbatasnya Dana Riset, Dilema Penguatan BRIN

Jakarta, Gatra.com – Hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi VII DPR dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada 24 Agustus 2021, menghasilkan persetujuan anggaran riset pada RAPBN 2022. Namun, rencana anggaran riset sejumlah Rp6,59 triliun tersebut mendapatkan kritik dari banyak pihak. Selain dianggap minim, besaran anggaran disinyalir tidak mampu menyokong kerja besar dari BRIN.

Anggota Komisi VII DPR, Andi Yulia Paris berpandangan, kecilnya anggaran riset pada RAPBN 2022 disebabkan karena integrasi yang terjadi di unit penelitian dan pengembangan (litbang) kementerian. Hampir semua litbang di kementerian dan lembaga akan dilikuidasi ke tubuh BRIN. Sehingga, sejumlah kementerian tidak lagi menganggarkan dana risetnya.

“Kita berharap tadinya dana [litbang kementerian] diintegrasikan. Kenapa dana riset menjadi kecil karena litbang-litbang di kementerian itu tidak menganggarkan lagi dana litbangnya,” ujar Andi ketika dihubungi Gatra.com pada Sabtu, 4 September 2021.

Padahal, sebelumnya litbang kementerian mempunyai alokasi dana riset yang bila dihimpun mencapai Rp24 triliun. Bahkan, pada rentang 2018-2020, alokasi anggaran Iptek (termasuk di dalamnya riset) berada di kisaran Rp33-Rp36 triliun. Andi berpendapat, ada yang keliru dalam proses integrasi litbang kementerian dan lembaga ke BRIN. Semangat UU Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sisnas Iptek menurutnya menguatkan aspek penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan (Litbangjirap).

BRIN, terang Andi, harus menjadi badan yang mengintegrasikan perencanaan, pelaksanaan, dan penganggaran riset. Bukan sebaliknya, menjadi badan yang menggabungkan fisik litbang kementerian semata. Andi justru memandang banyak litbang kementerian yang gamang bergabung ke BRIN.

Dampak dari likuidasi balitbang di kementerian akan berdampak pada kemunduran riset. Perombakan yang “totalitas” itu, menurut Andi, akan menambah ruwet ekosistem riset. Terlebih, organisasi BRIN tergolong baru dan masih memerlukan pola adaptasi.

“Saya tidak terlalu yakin BRIN mampu melakukan [riset] sesuai UU Sisnas Iptek untuk pengkajian dan penerapannya. Padahal, perekayasa BPPT sudah harus link dengan industri. Kita harusnya sudah masuk ke tahap komersialisasi penelitian,” kata legislator dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) itu.

Andi menangkap kegelisahan para peneliti di kementerian. Bahkan, beberapa kementerian juga tengah bersiap mengganti nomenklatur litbang kementeriannya menjadi balai analisis dan lainnya. “Sebenarnya wajar [peneliti] enggan masuk ke BRIN karena semangat UU Sisnas Iptek itu bukan untuk melikuidasi semua. BRIN tetap ada, masing-masing litbang juga jalan. BRIN itu ibaratnya konduktor dalam orkestra. Tetapi sekarang ini kayak pelaksana”.

Andi mewanti-wanti adanya pihak yang tidak ingin litbangjirap maju, supaya Indonesia terus bergantung pada impor. Padahal, keberadaan litbangjirap akan memacu keberadaan komponen dalam negeri. Naiknya nilai TKDN akan berdampak pada pengurangan laju impor. Tentang anggaran riset, ia menyebut anggaran riset seharusnya minimum 10% dari APBN.

Ia berharap, dana riset tidak hanya mengandalkan APBN. Melainkan, harus didukung insentif sehingga setiap badan usaha mau melakukan Research and Development (R&D). “Kita berharap janji pemerintah memberikan insentif keringanan pajak bagi badan usaha yang mengembangkan R&D. Aktivitas yang dilakukan oleh badan usaha, perguruan tinggi, dan lembaga penelitian itu harus bisa diproduksi massal di dalam negeri”.

Selain itu, perlu perubahan paradigma yang melihat litbangjirap sebagai belanja alias “kue anggaran”. Wakil Ketua Pansus Sisnas Iptek itu menyebut, keberadaan litbangjirap dengan inovasinya akan mendatangkan tambahan pendapatan negara. Ia juga mempertanyakan kesungguhan pemerintah dalam membangun ekosistem riset, di tengah adanya pembatasan anggaran.

“Ini kayak setengah hati atau bagaimana. Belum lagi litbang di kementerian, dia mengubah dirinya. Jadi, dalam penganggaran yang dibicarakan di RKA-KL (Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga) itu tidak ada lagi dana litbang yang dianggarkan,” terang Andi.

Andi mengakui anggaran riset di Indonesia semakin menyusut. Namun, di tengah situasi krisis Covid-19, peran riset diperlukan. Andi mencontohkan, peran dari litbang Kementerian Kesehatan, Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan lain-lain. Lebih jauh, taji dari lembaga riset diperlukan untuk mendorong pengembangan Vaksin Merah Putih untuk mengatasi pandemi.

“Kenapa kita harus menghabiskan pendapatan negara untuk diberikan ke pihak luar? Harusnya kita bisa mengalokasikan anggaran [riset vaksin] secepatnya, karena kita berpacu dengan waktu dalam pengembangan vaksin Covid ini,” ujarnya.

Andi berharap, pengembangan vaksin dalam negeri itu memberi kesempatan kepada peneliti, dokter, dan laboratorium dalam negeri. Kebijakan pemerintah terkait vaksin dan produk alat kesehatan juga harus berpihak ke masyarakat. “Tergantung pemerintah mau apa tidak mengembangkan hasil-hasil penelitian rekayasa yang dilakukan di Indonesia. Itu akan membuat kita semakin mandiri”.

Keterlibatan swasta di riset vaksin menurutnya perlu didorong dengan syarat kepastian hukum. Andi menyebut akan aneh jika swasta didorong berinvestasi, namun di sisi lain pemerintah memutuskan terus mengimpor vaksin.

“Kalau tidak ada kepastian hukum, tiba-tiba maunya impor, susah. Kebijakan pemerintah sendiri political will-nya seperti apa terhadap peningkatan komponen dalam negeri dan penggunaan karya inovasi anak bangsa. Kita ingin mengembangkan inovator, tapi kalau inovator-nya tidak dibeli barangnya siapa yang mau?”.

Reporter: Wahyu Wachid Anshory

Editor: Andhika Dinata