Home Nasional Buruh Yogya Ingin Dialog dengan Pegiat Antirokok

Buruh Yogya Ingin Dialog dengan Pegiat Antirokok

Yogyakarta, Gatra.com – Kalangan buruh rokok Daerah Istimewa Yogyakarta menyatakan jengah dengan masifnya kampanye atau gerakan anti-tembakau dan rokok. Mereka berharap bisa berdialog dengan para pegiatnya untuk menentukan peta jalan dampak penurunan bisnis rokok.

Keluhan para buruh disampaikan oleh Ketua PD Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman (FSPRTMM) DIY, Waljid Budi Lestariyanto, Selasa siang (31/5).

“Rekan-rekan buruh selama beberapa tahun terakhir mengeluhkan penurunan pendapatan. Bukan karena persaingan antar produsen rokok yang menjadi penyebabnya, namun kami sepakat kampanye anti-rokok dan tembakau adalah penyebabnya,” kata Waljid.

Menurutnya, saat ini ada 4.900 buruh rokok yang bekerja di enam pabrik di DIY. Sejak masifnya kampanye anti rokok, kata Waljid, pendapatan yang dibawa pulang mereka setiap bulan berkurang dari sebelumnya.

Jika sebelumnya, karena permintaan produksi mereka bisa mendapatkan tambahan pendapatan dari uang lembur. Namun sekarang lembur oleh perusahaan dibatasi karena penurunan permintaan.

“Ini belum lagi dengan kenaikan cukai tarif rokok setiap tahunnya, kemudian ada PPN 10 persen untuk setiap kemasan rokok dan pajak penerimaan daerah yang harus dibayar di muka oleh produsen. Ini semakin memberatkan perjalanan industri rokok kita,” jelasnya.

Waljid mengatakan, kondisi ini membuat para buruh rokok pesimis terhadap keberlangsungan industri rokok. Mereka mengkuatirkan hilangnya pekerjaan yang selama belasan tahun menjadi tulang punggung perekonomian keluarganya. Banyak yang tidak memiliki keahlian dan keterampilan selain melinting rokok.

“Seharusnya pemerintah sebagai penentu kebijakan peduli pada hal ini. Kami ingin mengajak pemerintah maupun penggiat antirokok untuk menentukan peta jalan (roadmap) bagaimana ke depan industri rokok berkembang,” lanjutnya.

Dalam peta jalan yang ingin dibicarakan, sebenarnya buruh rokok tidak keberatan dengan penurunan atau bahkan penghentian industri rokok secara bertahap di beberapa tahun ke depan.

Namun pemerintah dan pegiat diminta untuk memberikan keterampilan atau modal agar para buruh rokok bisa mendapat pengganti pendapatan.

“Selama ini kami berusaha mengajak pemerintah dan penggiat antirokok untuk berdiskusi bersama. Namun mereka tidak pernah mau. Ayolah yang fair, jangan mendesak dan meminta peta jalan penghentian rokok, tapi tidak pernah urun rembuk soal keberlangsungan hidup para buruh rokok,” kata Waljid.

Vice Director Muhammadiyah Steps Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dianita Sugiyo, saat dikonfirmasi, menanyakan apakah perwakilan buruh rokok pernah mengirimkan surat resmi untuk berdialog dengan para penggiat antirokok.

“Ini kapan ya mereka mintanya? Bersurat ke siapa ya? Karena kami enggak pernah menerima permintaan diskusi. Kalau ada surat, paling enggak ke Kemenkes atau ke mana, kami siap kok diskusi sama teman-teman. Nanti teman-teman Muhammadiyah bisa juga kasih masukan biar nggak salah paham,” katanya secara tertulis.

Dianita juga menyatakan ada teman-teman di Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) yang intensif mengadakan kajian ekonomi. Mereka bisa dilibatkan dalam pembahasan nanti.

Dianita menjelaskan, saat ini konsumsi rokok justru naik, bahkan selama pandemi. Namun kondisinya saat ini ada peralihan penggunaan mesin oleh industri, sehingga terjadi pengurangan pekerja.

Menanggapi soal cukai, ia menambahkan, cukai rokok memang berfungsi mengatur konsumsi barang yang merugikan, sehingga memang harus terus dinaikkan. "Apalagi kerugian negara akibat pembiayaan pada orang yang sakit karena rokok juga besar," katanya.

101