Home Ekonomi CISDI Sampaikan Pentingnya Pelibatan Masyarakat Sipil dalam Tata Kelola Financial Intermediary Fund

CISDI Sampaikan Pentingnya Pelibatan Masyarakat Sipil dalam Tata Kelola Financial Intermediary Fund

Jakarta, Gatra.com – Diah S. Saminarsih, pendiri lembaga tink thank kesehatan for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) menyampaikan pentingnya pelibatan masyarakat sipil dalam Tata Kelola Financial Intermediary Fund (FIF) untuk Dana Pandemi Global dalam Media Briefing “Pelibatan Bermakna Masyarakat Sipil dalam Tata Kelola Dana Perantara Keuangan untuk Penguatan Kapasitas Pencegahan, Kesiapsiagaan dan Respon Pandemi” yang diadakan daring melalui Zoom Meeting pada Kamis (01/09).

Hal ini bertujuan untuk mengajak civil society organization (CSO) atau masyarakat sipil untuk memperbaiki kondisi kesehatan di Indonesia termasuk dalam upaya pembangunan global dan memantau perkembangan arsitekstur kesehatan global dalam presidensi G20 di Indonesia.

Arsitektur kesehatan global selama ini kondisinya timpang dan rapuh sehingga dianggap tidak siap dalam menangani pandemi COVID-19. Negara dengan penghasilan tinggi dan tinggi-menengah telah memvaksinasi satu dosis penduduknya dengan persentase masing-masing 80,06 persen dan 79,95 persen.

Sementara untuk negara dengan penghasilan rendah-menengah dan rendah yang sudah divaksinasi satu dosis persentasenya 63,28 persen dan 22,2 persen.

Penguatan arsitektur kesehatan global menjadi isu utama yang dibahas di G20 agar lebih siap dalam menghadapi ancaman di bidang kesehatan. Oleh karena itu, negara partisipan G20 telah menyetujui adanya mekanisme dana perantara keuangan atau Financial Intermediary Fund (FIF) untuk pencegahan, kesiapsiagaan dan respons pandemi.

Untuk mengatasi ketimpangan pembiayaan finansial pandemi COVID-19, CISDI memaparkan bahwa biaya yang dibutuhkan berupa tambahan sebesar 10,5 miliar dolar AS atau untuk 5 tahun ke depan guna memperlancar pencegahan, kesiapsiagaan dan respons pandemi global, tambahan 13 miliar dolar AS untuk meningkatkan pasokan vaksin, alat terapeutik dan diagnostik dan surveilans.

Dengan besarnya pembiayaan di atas, terdapat tantangan dari mekanisme pembiayaan yang tersedia, yaitu terfragmentasinya tata kelola pembiayaan, ketiadaan mekanisme pembayaran global yang berorientasi pada pendekatan kesiapsiagaan dan terbatasnya program yang dapat dibiayai pada kepentingan dan prioritas donor tradisional sehingga nilainya kurang inklusif.

Sumber pendanaan Indonesia dalam FIF ini direncanakan akan menggunakan APBN 2023. “Peran vital media dan CSO sangat dibutuhkan sebagai watchdog untuk memastikan pengelolaan pembiayaan yang bertanggung jawab, berkeadilan, dan menghasilkan dampak optimal serta berkelanjutan,” ujar Diah.

Pihak yang terlibat dalam tata kelola FIF antara lain Dewan Pengurus yang diisi oleh entitas dengan kapasitas voting dan non-voting, Bank Dunia sebagai wali keuangan, entitas pelaksana (organisasi regional, WHO, PBB, Regional Development Bank) dan Sekretariat (Bank Dunia dan WHO).

Mekanismenya berawal dari keberlanjutan. Pembayaran FIF dilakukan secara sukarela dari negara pendonor serta belum ada komitmen negara dalam jangka panjang. Ketersediaan pembiayaan akan bergantung dari keputusan negara pendonor untuk terlibat atau tidak, namun tidak ada kepastian besaran setiap tahunnya.

“Untuk membentuk tanggung jawab bersama, dibutuhkan komitmen dan solidaritas multilateral agar semua negara bisa terlibat dalam respons pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons pandemi,” tutur Diah.

Dari segi inklusivitas, CSO belum pasti terlibat secara bermakna dalam mengambil keputusan karena belum mempunyai konsensus antar kontributor FIF atas hak suara atau voting.

“Pelibatan bermakna CSO sangatlah krusial. Mulai dari desain tata kelola FIF di tingkat global melalui penyediaan kursi dan kapasitas hak suara, hingga di tingkat nasional dan lokal guna memperluas jangkauan dampak dan keberlanjutan dari program yang didanai,” tambahnya.

Selama ini, pembiayaan kesehatan global mengalami kendala berupa kepentingan dan prioritas donor serta tidak partisipatif sehingga penerjemahan pembiayaan tidak mewakili kebutuhan negara penerima manfaat. Dengan adanya CSO, check and balance dapat berjalan mulus mulai dari proses perencanaan, implementasi, hingga perluasan jangkauan program. Selain itu, CSO juga memastikan program ini tepat sasaran melalui pemantauan dan evaluasi di negara penerima manfaat.

Contohnya, di Indonesia, ada Studi UHC 2030 (2016) di tingkat global dan Bank Dunia (2019). Mekanismenya melibatkan CSO. Hal ini terbukti efektif meningkatkan transparansi dan akuntabilitas serta mempermudah proses perencanaan program dan pembiayaan. “Oleh karena itu, kita perlu mengawal dan mendorong terjaminnya kursi dan hak suara CSO dalam struktur tata kelola FIF,” ungkapnya.

144