Home Nasional PP Penangkapan Ikan Terukur Disahkan, KIARA: Masukan Masyarakat Tidak Didengar

PP Penangkapan Ikan Terukur Disahkan, KIARA: Masukan Masyarakat Tidak Didengar

Jakarta, Gatra.com - Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati menilai pengesahan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PP PIT) menjadi penanda bahwa kritik dan masukan dari berbagai elemen masyarakat aturan ini tidak didengar oleh Pemerintah Pusat.

Ia menyebut, PP PIT menjadi pintu masuk eksploitasi sumber daya perikanan atas nama investasi tanpa kajian berbasis ilmiah. Beleid itu disebutnya semakin menunjukkan watak asli rezim saat ini yang hanya berorientasi pada masuknya investasi dan bertentangan aspek keberlanjutan ekologis dan stok sumber daya perikanan.

“Penangkapan Ikan Terukur menjadi pintu masuk eksploitasi dengan kedok investasi dan penangkapan yang terukur. Pengesahan ini jelas bertentangan dengan prinsip/asas keadilan dan kelestarian sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Undang-Undang tentang Perikanan,” katanya dalam keterangan resmi yang diterima pada Kamis (9/3).

KIARA memandang bahwa terdapat problematika yang mendasar dalam materiil kebijakan PP Penangkapan Ikan Terukur. Pertama, pertimbangan bahwa PIT sebagai alat untuk mencapai keberlanjutan tanpa disertai dengan penelitian ilmiah berpotensi membahayakan keberlanjutan sumberdaya perikanan. Karena status pemanfaatan di WPP NRI telah dalam kondisi yang penuh dan berlebihan.

“Terminologi penangkapan ikan terukur juga tidak ditemukan dalam Undang-Undang Perikanan, sehingga perumusan kebijakan ini bukan merupakan mandat konstitusi,” jelas Susan.

Kedua, dalam substansi PP PIT, kategori skala tonnase kapal pada nelayan kecil juga tidak disebutkan. Sehingga dapat menjadi celah bagi nelayan yang bukan skala kecil untuk melakukan produksi pada daerah penangkapan ikan terbatas.

Ketiga, pemberian kuota industri dalam PP PIT akan memberikan ruang masuknya investasi penanaman modal asing (PMA) di zona 01 sampai 04. Hal ini bertentangan dengan semangat UU Perikanan yang menyatakan bahwa usaha perikanan di WPPNRI hanya boleh dilakukan oleh Warga Negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.

Keempat, adanya ambiguitas dalam defenisi nelayan kecil dan nelayan lokal dalam PP PIT serta pemberian kuota nelayan lokal akan membatasi daya jelajah nelayan hanya maksimal sejauh 12 mil. Hal ini jelas bertentangan dengan daya jelajah nelayan tradisional dan kecil di berbagai tempat seperti di Kepulauan Riau, Jawa Timur, Sulawesi Utara, dan lainnya yang sehari-hari melaut melewati 12 mil.

Kelima, pengenaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) akan dikenakan kepada kuota industri dan kuota nelayan lokal. Bahkan, PNBP juga dikenakan pada kuota kegiatan bukan tujuan komersial.

“Hal ini menunjukkan bahwa semangat PP PIT hanya berorientasi pada penarikan PNBP di sektor perikanan dan kelautan. Karena nelayan lokal di bawah 10 GT dan kegiatan bukan komersial juga akan dikenakan pungutan tersebut,” ucapnya.

Keenam, PP PIT akan melanggengkan praktik alih muatan di tengah laut. Hal ini berpotensi menjadi celah mengingat saat ini kontrol dan pengawasan yang dilakukan oleh KKP sangat minim.

“Contoh implementasi pengawasan terhadap kapal dengan alat tangkap cantrang masih minim dan alat tangkap tersebut masih beroperasi diberbagai tempat,” kata Susan.

Ketujuh, minimnya sanksi pidana yang dapat memberikan efek jera terhadap pelaku pelanggaran. Pasalnya, PP PIT masih mengedepankan sanksi administratif.

“KIARA bersama nelayan tradisional di Indonesia secara tegas meminta kepada Pemerintah untuk menghentikan dan mencabut PP PIT karena tidak sesuai dengan prinsip keberlanjutan sumber daya perikanan dan kelautan di Indonesia serta bertentangan dengan UU Perikanan.

Seharusnya, lanjut Susan, peranan pengawas perikanan lebih ditingkatkan. Sehingga bisa menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya ikan secara optimal dan berkelanjutan.

113