Home Kolom Menyikapi Polemik Penetapan Tersangka Kepala Basarnas oleh KPK

Menyikapi Polemik Penetapan Tersangka Kepala Basarnas oleh KPK

Menyikapi Polemik Penetapan Tersangka Kepala Basarnas oleh KPK

Oleh:

Laksda TNI (Purn.) Soleman B. Ponto*

 

KPK tidak berhak menetapkan secara sepihak status tersangka kasus korupsi Marsdya TNI, Hendry Alfiandi. Penetapan status tersangka kasus korupsi adalah hasil koordinasi paling kurang dengan POM TNI. -Soleman B. Ponto

-----------------------------

 

Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) Marsekal Madya (Marsdya) TNI, Hendry Alfiandi ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penetapan Marsdya TNI Hendry Alfiandi sebagai tersangka kasus korupsi di Basarnas oleh KPK kemudian menghasilkan polemik. KPK merasa bahwa semua kasus korupsi ada di bawah kekuasaan KPK. Sedangkan, pihak TNI berpendapat bahwa seluruh anggota TNI tidak tunduk pada Peradilan Umum di mana Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) berada, sehingga penetapan tersangka oleh KPK itu melanggar aturan yang ada.

Agar supaya masyarakat Indonesia dapat mengerti situasi yang sebenarnya maka saya bahas kasus ini dengan aturan perundangan yang ada.

Untuk membahasnya saya menggunakan beberapa Undang-Undang (UU) di bawah ini.

1. UU 34/2004 tentang TNI

Sejak tahun 2004, setiap anggota TNI terikat pada UU 34/2004 tentang TNI. Menurut pasal 65 ayat (2) UU 34/2004 tentang TNI mengatur bahwa prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.

Selengkapnya pasal 65 ayat (2) UU 34/2004 tentang TNI berbunyi sebagai berikut:

Pasal 65

2) Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.

Akan tetapi, pada pasal 74 ayat 1, selanjutnya dinyatakan bahwa ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada pasal 65 berlaku pada saat Undang-undang tentang Peradilan Militer yang baru diberlakukan.

Artinya, prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum nanti bisa dilaksanakan setelah ada UU Tentang Peradilan Militer yang baru diberlakukan.

Selengkapnya pasal 74 ayat (1) UU 34/2004 tentang TNI berbunyi sebagai berikut:

Pasal 74

1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 berlaku pada saat undang-undang tentang Peradilan Militer yang baru diberlakukan.

Dalam kenyataannya UU Tentang Peradilan Militer yang baru itu belum ada. Lalu, bagaimana pelaksanaan penegakan hukumnya ?

Ternyata pada pasal 74 ayat 2 diatur bahwa selama undang-undang peradilan militer yang baru belum dibentuk, tetap tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Artinya, karena sekarang ini belum ada UU Peradilan militer yang baru maka pelaksanaan penegakan hukum anggota TNI tunduk pada UU 31/1997 tentang Peradilan Militer.

Selengkapnya pasal 74 ayat (2) UU 34/2004 tentang TNI berbunyi sebagai berikut:

Pasal 74

(2) Selama Undang-Undang Peradilan Militer yang baru belum dibentuk, tetap tunduk pada ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Dengan demikian, Marsdya TNI Hendry Alfiandi tidak terikat pada pasal 65 UU 34/2004 tentang TNI, tapi terikat pada UU 31/1997 tentang Peradilan Militer.

2. UU 31/1997 tentang Peradilan Militer

Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer.

Pasal 9 UU 31/1997 tentang Peradilan Militer mengatur bahwa bahwa Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer berwenang:

1. Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah:

a. Prajurit

Mari kita perhatikan baik-baik, bahwa Marsdya TNI Hendry Alfiandi ketika melakukan tindak pidana adalah Prajurit TNI aktif, dengan demikian maka pengadilan yang berwenang mengadili Marsdya TNI Hendry Alfiandi adalah pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer.

Jadi, yang berwenang mengadili kasus Marsdya TNI Hendry Alfiandi adalah Pengadilan dalam lingkungan Peradilan militer.

b. Penyidik Polisi Militer

Pasal 69 UU 31/1997 tentang Peradilan Militer mengatur bahwa:

(1) Penyidik adalah:

a. Atasan yang Berhak Menghukum;

b. Polisi Militer; dan

c. Oditur

Mengalir dari pasal 69 UU 31/1997 tentang Peradilan Militer maka penyidik kasus korupsi Kepala Basarnas mutlak adalah Polisi Militer.

Dengan demikian, kasus korupsi Marsdya TNI Hendry Alfiandi diadili di Pengadilan Militer dengan penyidiknya adalah Polisi Mililter.

3. Macam-macam Lingkungan Peradilan

Macam-macam peradilan diatur oleh Pasal 18 UU Nomor 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang selengkapnya berbunyi :

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Jadi, menurut pasal 18 UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ada empat macam lingkungan Peradilan, yaitu :

1. Lingkungan peradilan umum

2. Lingkungan peradilan agama

3. Lingkungan peradilan militer

4. Lingkungan peradilan tata usaha negara

4. Posisi Pengadilan TIPIKOR (Tindak Pidana Korupsi)

Pasal 54 UU 30/2002 tentang KPK berbunyi :

(1) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berada di lingkungan Peradilan Umum.

Jadi, walaupun Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) merupakan kejahatan yang luar biasa (extra-ordinary crimes) yang merugikan negara, tetapi Pengadilan TIPIKOR posisinya tetap hanya berada di lingkungan Peradilan Umum saja.

Sebagai konsekuensinya maka Pengadilan TIPIKOR Tidak Bisa Mengadili PERSONEL MILITER yang tunduk pada PERADILAN MILITER.

5. Penyelesaian Kasus Korupsi Sipil dan Militer

Pasal 42 UU 30/ 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi mengatur bahwa “KPK berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum”.

Dengan demikian, dalam kasus korupsi Marsdya TNI Hendry Alfiandi, maka KPK bertindak sebagai KOORDINATOR proses penegakan hukumnya. Artinya, KPK tidak bekerja sendiri.

Jadi, dalam kasus korupsi Marsdya TNI Hendry Alfiandi KPK tidak boleh secara sepihak memutuskan dan mengumumkan bahwa Marsdya TNI Hendry Alfiandi tersangka kasus korupsi. Penetapan status tersangka korupsi Marsdya TNI Hendry Alfiandi harus merupakan keputusan bersama dengan POM TNI.

6. Pengadilan Koneksitas

Untuk penanganan kasus korupsi yang melibatkan anggota TNI bersama kalangan sipil, KPK dan POM TNI dapat menangani perkara ini secara bersama-sama melalui peradilan koneksitas. Peradilan koneksitas menangani kasus pidana yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada kekuasaan peradilan umum dan militer. Proses penyidikan dan penuntutan dilakukan oleh tim yang terdiri atas jaksa, polisi militer, dan oditur militer.

Adapun proses pemeriksaan di pengadilan dilakukan oleh lima hakim yang berasal dari unsur hakim peradilan umum dan peradilan militer.

7. Contoh Kasus

Peristiwa ini terjadi pada 20116, yakni kasus dugaan suap dalam proyek pengadaan satelit pemantau di Badan Keamanan Laut (Bakamla) senilai Rp200 miliar. Dari lima orang yang ditangkap saat Operasi Tangkap Tangan (OTT), empat orang langsung ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Mereka adalah Deputi Bidang Informasi Hukum dan Kerja Sama Eko Susilo Hadi dan Direktur Utama PT Melati Technofo Indonesia, Fahmi Darmawansyah, serta dua pegawainya, Hardy Stefanus dan Muhammad Adami. Adapun Danang Radityo, yang diduga sebagai anggota TNI, akhirnya dilepas dan KPK hanya bisa berkoordinasi dengan Pusat Polisi Militer (POM) TNI.

Bambang Udoyo didakwa menerima uang suap senilai SGD 105 ribu atau setara dengan kurang-lebih Rp1 miliar dari PT Melati Technofo. Uang tersebut diterima sebagai hadiah karena telah memenangkan lelang terkait proyek pengadaan satelit monitoring Bakamla.

Sidang putusan kasus suap terkait proyek satelit monitoring di Bakamla dengan terdakwa Laksma TNI Bambang Udoyo digelar di Pengadilan Tinggi Militer Jakarta. Laksma Bambang didakwa menerima suap senilai SGD 105 ribu atau setara dengan kurang-lebih Rp1 miliar dalam kasus ini.

Bambang menerima uang tersebut dari Fahmi Darmawansyah (terdakwa lain yang telah divonis di Pengadilan Tipikor Jakarta) melalui anak buah senilai SGD 100 ribu. Uang tersebut diberikan di ruangan Bambang di kantor Bakamla pada 6 Desember 2016.

7. Kesimpulan

Dari uraian di atas, terlihat bahwa TNI tidak kebal hukum. Dalam kasus korupsi sudah ada TNI yang juga dihukum. Akan tetapi proses hukum TNI memang tidak sama dengan proses hukum orang sipil. Itu disebabkan karena anggota TNI sebagai militer diadili di lingkungan peradilan militer, sedangkan yang bukan militer diadili di pengadilan di lingkungan peradilan umum.

KPK tidak berhak menetapkan secara sepihak status tersangka kasus korupsi Marsdya TNI, Hendry Alfiandi. Penetapan status tersangka kasus korupsi adalah hasil koordinasi paling kurang dengan POM TNI.

Pengadilan Marsdya TNI Hendry Alfiandi dapat dilaksanakan pada Pengadilan Koneksitas.

 

*Penulis merupakan Pemerhati Hukum dan Militer

1133