Home Gaya Hidup Mengenang Gedung Ampera dan Gejolak Politik

Mengenang Gedung Ampera dan Gejolak Politik

 
Cianjur, Gatra.com - Salah satu tempat bersejarah di Cianjur, Jawa Barat, Gedung Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera) atau dikenal Gedung Dewan Kesenian Cianjur (DKC) memiliki sejarah yang unik.
 
Sejarahwan asal Kabupaten Cianjur, Luki Muharam mengatakan, mulanya Gedung Ampera digunakan sebagai gedung sekolah yang dikelola oleh pengusaha keturunan Tionghoa bernama Teng Tjai. Warga Cianjur sering memanggilnya Ting Seng. 
 
"Awalnya ini sekolah untuk anak keturunan Tionghoa. Namanya yang punya bangunan ini Ting Seng," kata dia kepada Gatra.com, Kamis (10/9).
 
Namun, saat peristiwa G30S/PKI tahun 1966, gejolak politik Indonesia mulai pecah. Ting yang merupakan keturunan Tionghoa, dianggap warga pribumi sebagai kaki tangan Republik Rakyat China (RRC) atau pro komunis. 
 
Oleh karena itu, saat kerusuhan itu terjadi, Gedung Ampera kemudian diduduki gerakan pemuda dan pelajar yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI). Selain itu, pernah dikuasai oleh kelompok Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).
 
"Ting Seng dulu diduga kaki tangan RRC atau pro komunis. Makanya gedung sekolahnya ini dirampas KAMI dan KAPPI Cianjur pada tahun 1966," ucap Luki.
 
Setelah kerusuhan itu usai, Gedung Ampera sempat tidak lagi digunakan. Beberapa tahun kemudian, gesung tersebut dialih fungsikan sebagai gedung pemerintahan. Selain itu, pernah juga digunakan sebagai gedung BP7, Dinas Pariwisata Cianjur, studio radio Pemerintah Derah (Pemda) Cianjur. 
 
"Sebelum jadi gedung seni seperti sekarang, pernah menjadi instansi pemerintah berganti, Gedung BP 7, dinas pariwisata, studio radio pemda dan terakhir sekarang jadi bale seni di bawah Kabag Umum Pemda," imbuh Luki.
 
Gedung Ampera yang dijadikan bale seni itu, kemudian diambil alih kepemilikannya oleh pemerintah, pada saat awal pemerintahan Soeharto.
Meski telah diambil alih oleh Pemda. Namun, keadaan DKC cukup memprihatinkan. Selain karena bangunan yang sudah tua, banyak pula kerusakan pada sisi- sisi gedung.
 
"Ini sebenarnya ada di bawah Dinas Pariwisata. Tapi ya keadaannya gini [rusak dan tidak layak]," ujar Luki.
 
Karenanya, sempat pada sekitar tahun 2000-an, keturunan Ting yang juga merupakan ahli warisnya berusaha untuk merebut kembali bangunan. Namun, upaya itu gagal dilakukan, karena banyaknya protes yang datang dari masyarakat, utamanya dari para pegiat seni dan kebudayaan.
 
"Ini sempat mau diambil lagi tanah dan bangunannya sama ahli waris Ting. Namun tidak jadi, karena didemo oleh budayawan dan mahasiswa," tandas Luki.
919