Home Ekonomi Hapus Premium, Pertamina Bisa Turunkan Harga Pertamax

Hapus Premium, Pertamina Bisa Turunkan Harga Pertamax

Yogyakarta, Gatra.com – Pertamina semestinya dapat menurunkan harga Pertamax sebagai salah satu langkah untuk menghapus BBM beroktan rendah seperti Premium dan Pertalite. Harga Pertamax dapat disubsidi pemerintah, apalagi Pertamina tengah menangguk untung saat harga minyak dunia turun.  

Hal itu disampaikan pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi dalam ‘Webinar Penghapusan Premium Pertalite’ gelaran dewan Energi Mahasiswa UGM yang diikuti Gatra.com, Sabtu (6/3).

“Penghapusan Premium dan Pertalite ini isu penting. Pertamina berkepentingan karena selama lima tahun ini jadi rekomendasi Satgas Antimafia Migas, tapi tak pernah direalisasikan,” tutur Fahmy, mantan anggota satgas tersebut.

Saat ini pemerintah menetapkan harga Premium di bawah harga keekonomian. “Jadi subsidi dialihkan dan ini jadi beban Pertamina. Di lapangan juga sering terjadi kelangkaan. Ini tidak fair dan semacam kebohohan publik,” kata dia.

Premium dan Pertalite termasuk BBM beroktan rendah yang menghasilkan gas buang tak ramah lingkungan. Adapun BBM beroktan tinggi sesuai standar Euro-4 adalah Pertamax, Pertamax Plus, dan Pertamax Turbo.

“Banyak negara tidak pakai lagi BBM oktan rendah. Hanya 6 negara yang masih pakai termasuk Indonesia gunakan BBM beroktan rendah,” kata dia.

Satgas Antimafia Migas pada 2015 meminta BBM Premium dihapus membuat bengkak APBN bertahun-tahun. “Pertamina berjanji menghapus pada 2017 tapi sampai sekarang belum dihapus. Alasannya distribusi Premium penugasan pemerintah,” kata dia.

Fahmy mengakui konsumen BBM oktan rendah masih sangat besar, meski konsumen mulai beralih. Mengacu data Agustus 2020, penggunaan Premium 24 ribu dan Pertalite 51 ribu kiloliter, sedangkan Pertamax 10 ribu kiloliter. Peningkatan konsumsi Pertalite menjadi jembatan dari Premium ke Pertamax di masa mendatang.

“Migrasi Premium ke Pertalite sudah terjadi secara sukarela. Ini karena disparitas harga tidak terlalu besar. Konsumen juga sadar soal ramah lingkungan dan pemeliharaan mesin,” kata dia.

Sayangnya disparitas harga itu berubah dan harga Pertalite kemudian mengacu harga pasar. “Jadi harga Premium-Pertalite menganga tinggi. Akhirnya konsumen kembali ke Premium. Tujuan bridging jadi gagal,” kata dia.

Menurut Fahmy, Premium mesti dihapus karena impornya jadi lahan mafia migas berburu rente, bahkan melakukan penyelundupan. Hal itu karena pengadaan Premium melalui blending yang tak memiliki referensi harga di pasar dunia.

“Ini memudahkan mafia migas mark up selama puluhan tahun sejak masa Orba hingga era Jokowi. Terjadi perampokan APBN secara berlapis-lapis dan tiada aparat hukum yang mampu mencegah. KPK baru menetapkan 1 tersangka. Saya curiga rente impor BBM masih terjadi,” tuturnya.

Fahmy mengakui bakal timbul masalah atas penghapusan Premium karena konsumennya besar. Pertamina juga belum memiliki kilang minyak untuk BBM oktan tinggi sehingga harus impor dulu. “Mafia bisa jadi ada lagi. Bedanya, ada referensi harga internasional. Kalau ada mark up akan ketahuan karena ada harga patokan,” kata dia.

Untuk itu, salah satu solusinya dengan menurunkan harga Pertamax sesuai harga keekonomian agar konsumen beralih. “Harga minyak dunia lagi rendah. Tapi Pertamina tidak pernah menurunkan harga Pertamax dengan berbagai alasan. Malaysia saja turunkan harga BBM enam kali setahun,” kata dia.

Menurutnya, dengan membelinya secara murah dan menjual Pertamax dengan harga saat ini, Pertamina meraup untung besar. Pertamax bisa dijual dengan harga lebih rendah sesuai harga keekonomian.

Selain segera membangun kilang dan aksi komunikasi untuk BBM ramah lingkungan, pemerintah bisa juga memberi subsidi ke harga Pertamax dalam  jangka waktu tertentu. “Subsidi ke Pertamax ini bisa dicabut secara bertahap,” ujarnya.

5872