Home Kolom Ikrar di Bukit Seguntang

Ikrar di Bukit Seguntang

Alkisah di Tanah Hindi medio abad ke-13, seorang raja dari sebuah negeri bernama Amdan, memerintah negerinya dengan arif dan bijaksana. Rakyat di negeri yang terletak di kaki Pegunungan Himalaya itu hidup dalam suasana tenteram dan damai.

Akan tetapi, dalam beberapa tahun ini suasananya sudah berubah. Ada ancaman dari sebelah utara, tepatnya dari negeri bernama Mongol. Bala tentara berkuda Mongol itu sudah berkali-kali menyerang Amdan, namun berhasil dienyahkan. Akan tetapi sampai berapa lama mereka dapat bertahan?

Sang Raja merasa gundah dengan nasib negerinya. Ia khawatir, suatu saat negerinya akan takluk juga di bawah kekuasaan Mongol. Balatentara Mongol yang menakutkan itu sepertinya tak bisa dibendung oleh siapa pun, termasuk Dinasti Sung di Cina, maupun Daulah Abbasiyah di Arab.

Sang Raja juga khawatir, keturunannya akan terputus. Padahal mereka masih keturunan Alexander Yang Agung, maharaja legendaris dari Makedonia. Ketiga puteranya pasti akan terbunuh jika negerinya ditaklukkan Mongol. Pasukan berkuda dari negeri di tengah Gurun Gobi itu dikenal sangat kejam terhadap musuh-musuhnya.

Maka ia memutuskan untuk mengungsikan ketiga pangeran ke tempat yang sangat jauh. Telik sandinya telah merekomendasikan sebuah negeri yang terletak di sebuah pulau di sebelah selatan Cina. Negeri itu bernama Palembang.

Ke sanalah ketiga pangeran akan dikirim. Bukan saja untuk menyelamatkan hidup mereka, tetapi juga untuk menjadi raja-raja di sana. Mereka patut mendapatkan anugerah itu, karena mereka adalah keturunan Alexander Yang Agung.

Ketiga pangeran pun berangkat meninggalkan Tanah Hindi dengan perasaan yang masygul. Mereka sebenarnya ingin berjuang membela negerinya. Akan tetapi, perintah Raja tak bisa dibantah. Mereka pun patuh.

Ternyata perjalanan menuju negeri yang baru, tidaklah mudah. Selain berjuang menghadapi ombak yang menggunung dan badai yang menerjang, mereka juga harus berhadapan dengan kawanan bajak laut yang tak kalah ganasnya dengan pasukan Mongol.

Bajak-bajak laut ini tadinya tidak mengganggu kapal-kapal yang berlayar, yakni ketika Kerajaan Sriwijaya masih berdiri. Mereka malahan dijadikan pasukan keamanan oleh kerajaan maritim yang perkasa itu. Akan tetapi setelah Sriwijaya tiada, bajak-bajak laut itu kembali menjadi liar.

Walaupun banyak korban yang jatuh, akhirnya rombongan anak-anak Raja Amdan, berhasil mengatasi rintangan yang satu ini. Mereka pun berhasil mendarat dengan selamat di Pulau Andalas. Dan malam itu mereka sudah berada di puncak Bukit Seguntang, sebuah tempat yang disucikan di negeri Palembang.

Kemunculan ketiga anak raja di puncak Bukit Seguntang, membuat geger orang Palembang. Penampakan mereka di pagi hari dengan pakaian kebesaran Amdan, membuat mereka seolah-olah turun dari langit. Ketiganya tampak bercahaya di bawah sinar matahari pagi, laksana dewa-dewa turun dari Kahyangan.

Setelah saling memperkenalkan diri, akhirnya terjalin keakraban antara ketiga pangeran dengan ketiga puteri anak penguasa setempat. Tidak itu saja, perkenalan tersebut lalu meningkat menjadi perjodohan. Demang Lebar Daun, penguasa Palembang, merestui perjodohan anak-anaknya dengan para pangeran dari Negeri Amdan tersebut. Apalagi para pangeran itu masih keturunan Alexander Yang Agung atau dikenal dengan nama Iskandar Zulkarnain, di kalangan rakyat Melayu. Rencana perkawinan pun segera disusun.

Nila Utama, sebagai pangeran tertua, dipasangkan dengan Wan Sundari, puteri sulung Demang Lebar Daun. Lalu Krisna Pandita, pangeran kedua, dipasangkan dengan Wan Empuk, puteri kedua. Terakhir, Nila Pahlawan, pangeran ketiga, dipasangkan dengan Wan Malini, puteri ketiga. Belakangan, karena faktor cinta, pasangan kedua dan ketiga saling dipertukarkan.

Selain perkawinan yang membuat kedua belah pihak menjadi satu keluarga, mereka juga sepakat untuk memerdekakan Palembang, dari kekuasaan Kerajaan Dharmasraya. Kademangan Palembang, harus kembali menjadi Kerajaan Palembang. Tidak itu saja, mereka juga sepakat untuk menyatukan semua negeri yang dahulu pernah berada dalam satu kekuasaan tatkala Sriwijaya masih berjaya menjadi sebuah negeri besar bernama Kerajaan Melayu.

Maka diundanglah negeri-negeri yang berada di kawasan yang meliputi Andalas, Kalimantan, dan Semenanjung untuk hadir pada acara perkawinan akbar tersebut. Negeri-negeri itu antara lain: Pasai, Lamuri, Haru, Pagarruyung, Jambi, Bumiayu, Tulang Bawang, Kedah, Pattani, dan Tanjungpura.

Pada acara yang dilaksanakan di Bukit Seguntang itu, Nila Utama sebagai raja pertama Kerajaan Melayu, didaulat untuk mengucapkan ikrar mewakili pihak kerajaan atau penguasa. Sementara Demang Lebar Daun, didaulat untuk mengucapkan ikrar yang menyuarakan aspirasi rakyat yang ada di Negeri Melayu.

Nila Utama, yang juga dikenal dengan nama Sang Sapurba berikrar: "Kami sebagai Raja Melayu, berjanji akan memerintah dengan sebaik-baiknya untuk kemakmuran negeri dan kesejahteraan rakyat. Oleh sebab itu, rakyat hendaknya patuh kepada kami sebagai Raja maupun raja-raja penerus kami nanti. Jika tak patuh, maka akan celakalah rakyat yang khianat tersebut."

Demang Lebar Daun membalas dengan ikrar pula: "Kami sebagai rakyat berjanji akan patuh kepada Baginda Raja dan raja-raja Melayu berikutnya. Akan tetapi jika Baginda Raja atau raja-raja Melayu penerusnya nanti berbuat zalim kepada rakyat, maka kepatuhan rakyat akan hilang dengan sendirinya dan raja yang zalim tersebut akan celaka."

Usai peristiwa besar di Bukit Seguntang itu, Kerajaan Melayu pun secara resmi berdiri menguasai hampir seluruh wilayah yang dahulu dikuasai Kerajaan Sriwijaya. Setelah wafat, Nila Utama digantikan oleh anaknya Sang Nila Utama. Raja yang bergelar Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa ini lalu memindahkan ibukota Melayu ke Tumasik yang sekarang kita kenal dengan nama Singapura.

Selanjutnya, cucu Sang Nila Utama yang bernama Parameswara, memindahkan ibukota ke Malaka. Ia lalu berganti agama dari Buddha menjadi Islam dan berganti nama menjadi Iskandar Syah. Negeri yang dibentuknya itu juga berganti nama menjadi Kesultanan Malaka dan tetap dianggap sebagai penguasa Kerajaan Melayu.

Setelah Malaka direbut oleh Portugis, Kerajaan Melayu pun runtuh. Akan tetapi sebagai gantinya, Melayu menjelma menjadi sesuatu yang lebih kuat dan lebih hebat, yakni Melayu yang kita kenal sekarang ini. Melayu yang tidak hanya identik dengan politik dan kekuasaan, melainkan telah menjelma menjadi sebuah peradaban dengan segala aspek kehidupan di dalamnya.

Penulis: Ir. Akhmad Junaedy, MS. Ahli Fiksi Sejarah

1138