Home Nasional ICW Sebut di Luar Negeri Ada Aturan soal Rangkap Jabatan Publik

ICW Sebut di Luar Negeri Ada Aturan soal Rangkap Jabatan Publik

Jakarta, Gatra.com - Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Lola Easter menerangkan perbedaan penerapan aturan terkait rangkap jabatan pejabat publik di Indonesia, dibandingkan dengan negara lainnya. 

Menurutnya, apa yang terjadi di Indonesia harus segera dibenahi dengan berkaca pada negara lain.

"Kajian ini salah satu tujuannya untuk rekomendasi tata kelola dan aturan terkait rangkap jabatan," ucapnya dalam "Diseminasi Hasil Studi Kasus Konflik Kepentingan dalam Rangkap Jabatan Aparat Penegak Hukum" yang digelar secara hybrid, Selasa (28/2).

Lola menerangkan bahwa rangkap jabatan rentan dengan konflik kepentingan. Untuk mengatasinya, salah satu negara yakni di Prancis, pengendalian konflik kepentingan di sektor publik diatur dalan Transparency in Public Life Act 2013. 

Isinya berfokus pada kewajiban berintegritas pejabat publik dan mendorong agar mereka menjalankan tugas secara independen, tidak memihak, serta objektif.

"Di Prancis (bila terjadi rangkap jabatan), yang bersangkutan harus mengundurkan diri. Kalau situasi tidak memungkinkan, ada banyak syarat (diperbolehkan). Sehingga sangat jarang, tidak dipromosikan untuk dilakukan pegawai atau pejabat publik di sana," terangnya.

Sementara di Irlandia Utara, ia menjelaskan bahwa ada lembaga khusus yang bertugas mengecek deklarasi konflik kepentingan yang disampaikan pejabat publik. Deklarasi yang dilakukan diperlakukan sebagai sumber informasi yang harus ditelusuri kebenarannya, sehingga ada tindak lanjut atas tindakan itu. 

“Ini dilakukan untuk menemukan adanya konflik kepentingan dalam sebuah situasi,” katanya.

Selain kedua negara itu, Lola juga menjabarkan negara Australia sebagai percontohan. Di sana, terdapat larangan rangkap jabatan bagi pejabat publik.

"Untuk pensiunan pegawai publik untuk bisa bekerja lagi di sektor publik, ada cooling off period. Ada semacam masa tunggu sebelum bisa aktif bekerja kembali," ungkapnya.

Ia menyindir situasi di Indonesia yang menerapkan cooling off period pada mantan narapidana korupsi. Bagi koruptor yang pernah tertangkap dan mau maju lagi dalam pemilihan umum, ada masa tunggu sebelum boleh mencalonkan diri. Sementara, bagi pekerja publik, justru hal itu tidak berlaku.

"Untuk kesan baik-baik pensiunan tidak berlaku, justru di Indonesia berlaku buat koruptor yang mau maju lagi," ujarnya.

Ia menegaskan perlunya aturan yang baku dalam mengatasi hal ini. Rangkap jabatan yang rentan konflik kepentingan harus dicegah agar tidak berkembang menjadi kasus lainnya.

"Pada dirinya menempel kekuasaan sehingga harus diantisipasi ketika konflik kepentingan muncul. Kemungkinan, ini akan berujung pada tindak pidana korupsi. Jika konflik kepentingan dan rangkap jabatan dibiarkan begitu saja, jangan sampai tindak pidana korupsi dulu baru, ‘oh ada rangkap jabatan di baliknya’. Penting mengantisipasi atau mencegah tindak pidana korupsi ketika sudah ada identifikasi konflik kepentingan di dalamnya," pungkasnya.

888