Home Hukum IPC: Revisi UU ITE Dinilai Langgar Asas Formil Pembentukan UU

IPC: Revisi UU ITE Dinilai Langgar Asas Formil Pembentukan UU

Jakarta, Gatra.com – Sejumlah masyarakat sipil menilai pembahasan revisi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang dikabarkan akan segera rampung, melanggar beberapa asas pembentukan undang-undang. 

Pasalnya, proses revisi RUU ITE dinilai tidak mengimplementasikan asas partisipasi bermakna, terutama dari pihak masyarakat yang akan terdampak langsung.

Program Manager Indonesian Parliamentary Center (IPC), Arbain menjelaskan, dari sekitar 20 kali rapat pembahasan revisi UU ITE hanya 5 di antaranya yang melampirkan laporan singkat atas rapat yang berlangsung. Namun, laporan itu tidak mencantumkan kesimpulan. Apalagi, risalah rapat yang merupakan catatan keseluruhan dari rapat yang berlangsung.

Baca Juga: Jadi Tersangka UU ITE, Komnas Perempuan Minta Keadilan untuk FA

"Ini jelas pelanggaran formil dalam pembentukan undang-undang," ucap Arbain dalam diskusi daring oleh koalisi masyarakat sipil, pada Jumat (7/7).

Arbain menambahkan, dalam hal teknis pembentukan undang-undang, ada beberapa berkas yang harus diumumkan untuk memastikan hak publik terjamin. Berkas-berkas ini antara lain, laporan singkat, catatan rapat dari para peserta, dan risalah.

Elemen teknis ini disebutkan bukan formalitas semata. Tapi, seharusnya untuk menjamin hak publik untuk mengetahui, hak untuk didengarkan, berpartisipasi, dipertimbangkan, mendapatkan penjelasan, dan hak publik untuk komplain.

Baca Juga: LBH Pers Dorong Revisi Total UU ITE

"Jadi, kesimpulan kami, pembahasan RUU ITE ini melanggar asas formil dalam pembentukan undang-undang, baik dia asas partisipasi, transparansi, maupun akuntabilitas,” ucap Arbain.

e-Commerce

Hal lain yang disorot Arbaik bahwa dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik terlihat lebih berfokus pada sisi transaksi elektronik atau e-commerce. Permasalahannya, banyak kasus UU ITE yang menjerat masyarakat dengan pasal pencemaran nama baik.

"Ini kan gabungan dua RUU, RUU Tindak Pidana Teknologi Informasi dan RUU E-commerce. Oleh DPR, ceritanya dulu-dulu itu, dijadikan satu. Karena digabungkan jadi satu, sudah ke mana-mana," jelas Arbain.

Arbain menjelaskan, niat awal pembentukan UU ini adalah untuk mengatur dan memastikan transaksi elektronik berjalan dengan baik, termasuk memastikan hak-hak konsumen terlindungi. Namun, seiring berjalannya waktu, masuknya pasal yang sebenarnya sudah ada di undang-undang lain, misalnya yang ada di UU KUHP, membuat UU ITE menjadi rancu.

"Tidak membedakan informasi dalam konteks transaksi elektronik sama informasi dalam konteks kebebasan berbicara (freedom of speech)," jelas Arbain.

Arbain menyampaikan agar pemerintah sebaiknya mengembalikan UU ITE ini ke perencanaan semula, yaitu fokus mengatur transaksi elektronik. Beberapa anggota DPR pun sudah menyuarakan hal ini, meski tidak membocorkan identitas anggota dewan yang dimaksud.

 

214