Home Gaya Hidup Dakwah Selalu Adem di Masjid 'Mualaf' Ruko Pintu Merah

Dakwah Selalu Adem di Masjid 'Mualaf' Ruko Pintu Merah

Jakarta, Gatra.com– Antrean warga tertib menggunakan protokol kesehatan Covid-19 di depan sebuah bangunan mirip rumah toko (ruko), di Jalan Lautze, Sawah Besar, Jakarta Pusat, pada Sabtu(24/04). “Ayo tertib, jaga jarak, pakai masker .....satu baris yaaaa. Aku nggak mau kalau gak tertib lho ....,” ajak Lilis, seorang pegawai Yayasan Haji Karim Oei, sambil membagikan bingkisan.

Berbagi 200 nasi kotak untuk warga dalam kegiatan bulan Ramadan 2021 di depan Masjid Lautze, Jakarta. (GATRA/Jongki Handianto) 

Senyuman tulus dan ucapan terima kasih menghiasi wajah dalam kegiatan berbagi berkah di bulan Ramadhan. Sore itu, seusai shalat Ashar, Yayasan Haji Karim Oei melakukan kegiatan pembagian 200 nasi kotak kepada warga sekitar maupun yang sedang melintas. Berbagi berkah jelang buka puasa tersebut diikuti pengurus, pegawai, hingga beberapa jemaah masjid Lautze.

Pada awal berdirinya masjid mirip ruko yang berada di kawasan pertokoan ini, dimulai dengan dibentuknya lembaga dakwah spesialis Tionghoa oleh Junus Jahja alias Lauw Chuan Tho, atau yang lebih dikenal dengan JJ, bersama H. Ali Karim Oei pada 1991. Pembentukannya melibatkan beberapa tokoh dari Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, yang kemudian lembaga tersebut diberi nama Yayasan Haji Karim Oei.

Nama Karim Oei, berasal dari nama seorang perintis Islam kalangan Tionghoa yang bernama Haji Abdulkarim Oei Tjeng Hien, atau sering disapa Babah. Pria kelahiran Padang pada tahun 1905, masuk agama Islam pada 1929 saat pindah ke Bengkulu. Dia juga pernah menjadi Konsul Muhammadiyah.

Seiring dengan waktu, ruangan ruko yang biasa sering digunakan tempat salat, akhirnya berkembang menjadi sebuah masjid dengan nama Masjid Lautze, walaupun bangunannya berstatus kontrak. Diberi nama Lautze karena lokasinya berada di jalan Lautze. Salat Jumat diadakan untuk pertama kalinya pada 26 Juli 1991, khotibnya adalah tokoh Betawi, Ridwan Saidi.

Salat Ashar berjamaah dengan protokol kesehatan Covid-19 di Masjid Lautze Jakarta. (GATRA/Jongki Handianto)

Dua tahun kemudian, ruko empat lantai tersebut dibeli, berkat bantuan Yayasan Abdi Bangsa. Dan akhirnya, Masjid Lautze diresmikan penggunaannya oleh Presiden ke-3 RI, Almarhum B.J. Habibie, yang saat itu menjabat Menteri Riset dan Teknologi, pada 4 Februari 1994.

Gaya ruko dan pintu merah setengah lingkaran lonjong masih menyambut siapapun yang datang ke masjid itu. Tidak banyak berubah, termasuk keramahannya, sama seperti saat Gatra menyambangi masjid ini pada 2005. Kaligrafi khas Tionghoa juga masih menghiasi di sekeliling tembok masjid yang berada di lantai I dan II.

Lilis sedang mempersiapkan barisan nasi kotak di ruang lantai III, yang juga digunakan sebagai kantor pengurus. Tas-tas berisi sembako yang akan dibagikan kepada masyarakat pada kegiatan berikutnya sedang berjejer rapi di lantai ruang serba guna lantai IV.

“Ada orang datang tanya kenapa masjidnya model begini? Saya bilang filosofinya simpel ....norak, ente lihat - ente dateng deh. Kalau ngomong bagus, yang lebih bagus banyak. Almarhum Anton Medan pernah telpon nawarin kirim cat, dia bilang masjidnya gak ada filosofinya. Gue jawab... Ton gue gak perlu filosofi, gue cuman pakek ilmu norak,” kata H.M. Ali Karim Oei, SH, Ketua Yayasan Haji Karim Oei.

Ketua Yayasan Haji Karim Oei, H.M. Ali Karim Oei, SH. (GATRA/Jongki Handianto)

Tak ada filosofi khusus pada bangunan masjid ini, tapi filosofi khusus ada pada fungsinya. “Niatnya ini buat dakwah, buat menyampaikan Islam kepada orang Tionghoa. Niatnya bukan untuk pamer. Orang ini masjid pertama di Indonesia yang ngontrak karena gak ada duit. Lautze 2 yang berada di Bandung, juga 8 tahun ngontrak, dan alhamdulillah udah bisa dibeli, tiga ruko,” ungkap Ali.

Tahun politik beberapa waktu kemarin seperti pilkada maupun pemilu, ternyata tidak mempengaruhi keinginan orang untuk menjadi mualaf. Terlihat pada data orang masuk Islam yang bisa dilihat pada papan pengumuman dekat pintu masuk masjid, hasilnya cukup baik dan tidak pernah di bawah angka 50 terutama pada 10 tahun terakhir. “Gak ada pengaruhnya, siapapun yang menang, atau ada bom meledak ....gak ada urusan. Kalau orang dapat hidayah, gak bisa ditahan. Apakah kita bisa kasih hidayah ke orang? Gak juga, tugas kita hanya sampaikan, dan memberi contoh yang baik,” ujar Ali.

Proses pengislaman seorang mualaf mengucap kalimat syahadat, pada 2005. (GATRA/Jongki Handianto)

Pendekatan yang tepat hingga penggunaan bahasa sederhana, umum, mudah dimengerti menjadi daya tarik tersendiri bagi mualaf ataupun yang masih menjadi calon. “Gak usah cari yang susah-susah. Yang gampang aja gak dikerjain apalagi yg susah, bisa lari mereka. Seperti Walisongo kan ngikutin budaya setempat. Kalau kita mau pendekatan ke warga Tionghoa, harus tahu budaya Cina,” kata Ali.

Pengalaman saat mengikuti perjalanan rombongan ulama ke Beijing, Cina, pada musim salju tahun 1991, menjadi salah satu pelajaran penting. “Kaget waktu ke itu masjid, bentuknya persis klenteng, pas masuk ada anglo besar dari tembaga tempat pasang dupa ..... masjidnya berumur ratusan tahun lebih, sekeliling dipasang dupa. Ah dasar gak berubah .... bisik saya dalam hati, walaupun saya Cina juga," katanya.

"Setelah sehabis salat dan lain-lain, saya sempatkan untuk tanya ke imam masjid. Kenapa pasang hio atau dupa? Dia jawab, ini kan musim salju, karpet ini jadi bau karena lembab, untuk menghilangkan baunya pakai dupa. Sedangkan anglo besar dulu dipakai untuk bakar kayu, untuk api unggun, penghangat ruangan saat musim salju sebelum ada listrik. Sembari ngaji, sembari ngangetin badan. Jawaban imam itu langsung mematahkan semua dugaan saya. Barangnya sama tapi niatnya aja berbeda. Jadi gak bisa melihat sesuatu dari luar aja, harus ditanya supaya jelas, supaya jangan jadi fitnah. Banyak ilmu pengetahuan, budaya, pelajaran-pelajaran lain sehingga membuat wawasan kita menjadi lebih terbuka,” kenang Ali sambil tersenyum.

Berikut jumlah mualaf Masjid Lautze Yayasan Haji Karim Oei sepuluh tahun terakhir:

1. 2011 : 77 orang

2 .2012 : 71 orang

3. 2013 : 64 orang

4. 2014 : 66 orang

5. 2015 : 88 orang

6. 2016 : 71 orang

7. 2017 : 88 orang

8. 2018 : 103 orang

9. 2019 : 58 orang

10. 2020 : 75 orang

Total 1606 orang yang tertera pada papan Data Pengislaman Masjid Lautze Jakarta, 1997 – 2020.

Data Pengislaman pada tahun 2021 yang masih berlangsung:

1. Januari : 6 orang

2. Februari : 5 orang

3. Maret : 7 orang

Pindah agama diharapkan dapat merubah orang agar menjadi lebih baik. Walaupun ada juga yang pindah agama Islam, terus pindah lagi ke agama lain, dan bahkan balik lagi ke agama Islam. Biasanya orang tersebut tidak mempelajari terlebih dahulu sebelum pindah.

Tidak semua calon mualaf yang datang ke Masjid Lautze bisa lolos atau diterima, banyak juga yang ditolak. Prosesnya cukup ketat, dari segi aturan dan juga melalui seleksi. Contohnya seperti ada orang yang ingin mau masuk agama Islam tapi meminta sertifikat harus sudah jadi pada esok harinya, dan itu langsung ditolak karena keinginan tersebut hanya pura-pura.

Selain mendapat hidayah, memang ada beberapa alasan lain orang pindah agama, salah satu contohnya karena nikah. “Agama tidak bisa dipermainkan, saat ingin pindah agama sebaiknya mempelajari dulu. Apakah yang dicari sudah sesuai atau cocok dengan diri masing-masing, baru tentukan pilihan. Alhamdulillah .... setiap bulan, walaupun dalam kondisi Covid, apalagi kemarin yang paling parah, masih ada juga orang yang masuk Islam. Bisa dibilang setiap bulan ada aja orang yang masuk,” tegas Ali.

Saat menjelang waktu berbuka puasa, tampak seorang wanita Tionghoa bermasker, mengenakan hoodie hitam sedang asyik berdiskusi dengan salah satu pengurus masjid. Sebut saja dia, Cicih, yang masih menganut salah satu agama lain, dan datang untuk mempelajari atau mencari tahu tentang agama Islam. Informasi dari dunia maya dan sosial media yang membuat ia memilih datang ke Masjid Lautze.

Cicih, wanita calon mualaf (tengah) sedang diskusi dengan pengurus masjid. (GATRA/Jongki Handianto)

Rasa akrab dengan pendekatan budaya Tionghoa diharapkan dapat mempermudah dan memberikan kenyamanan saat nanti belajar agama. “Pengen tahu sih. Islam mengajarkan kedamaian. Dan ini pertama kalinya masuk masjid. Cowok saya kan muslim, saya jadi pengen tahu, pengen belajar juga,” ungkap Cicih. Ia menceritakan bahwa pihak keluarga telah mengetahui niat tersebut, dan tidak menjadi masalah karena semua tergantung dari cara menyikapi dan menjelaskannya.

Ikhlas, bicara dari hati ke hati, jujur, dan nyaman merupakan faktor-faktor penting dalam melakukan pendekatan. Di usia ke 30 tahun, Masjid Lautze yang berpintu merah, selalu tetap sejuk dalam dakwah, niat untuk menyampaikan Islam kepada masyarakat Tionghoa dan yang belum mengetahui Islam. Sampaikan walaupun hanya untuk satu ayat.


Foto dan Teks: Jongki Handianto