Home Hukum Organisasi Masyarakat Sipil Gugat Aturan Badan Bank Tanah

Organisasi Masyarakat Sipil Gugat Aturan Badan Bank Tanah

Jakarta, Gatra.com - Organisasi masyarakat sipil sepakat mendaftarkan gugatan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021 Tentang Badan Bank Tanah (PP 64/2021) kepada Mahkamah Agung (MA), Senin (13/2). Gugatan ini mencakup permohonan Uji Formil dan Uji Materiil PP 64/2021 yang dinilai bertentangan dengan aturan yang ada.

Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria, Dewi Kartika, merinci bahwa PP  64/2021 bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintah, UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Selain itu, aturan ini juga dianggap bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 (Putusan MK 91), yang menyatakan bahwa UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) Inkonstitusional bersyarat. 

Sebagai turunan langsung dari UU Cipta Kerja, Dewi menilai bahwa PP 64/2021 juga harus dinyatakan cacat formil.

"Sebagai kebijakan yang bersifat strategis dan akan berdampak luas kepada masyarakat kecil utamanya petani, masyarakat adat, buruh tani, masyarakat pedesaan dan pesisir dan pulau-pulau kecil yang bergantung pada pertanian, tanah dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, maka PP 64/2021 haruslah dihentikan pelaksanaannya," terangnya.

Selain itu, pada Putusan MK 91 angka 7 telah memerintahkan pemerintah “untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas”. Namun, penerbitan aturan turunan justru melanggar hal itu.

Dewi menjelaskan bahwa sejak perumusan RUU Cipta Kerja, Gerakan Reforma Agraria bersama pakar dan akademisi telah memberikan saran, masukan, serta kritik substantif hingga sikap penolakan terhadap rencana pemerintah membentuk badan baru pengelola dan pengatur penguasaan serta pendistribusian tanah yang bernama Badan Bank Tanah.

"Sayangnya aspirasi keadilan agraria dan tuntutan perlindungan hak-hak konstitusional rakyat atas tanah telah diabaikan oleh pemerintah maupun Dewan Perwakilan Daerah (DPR) RI dengan tetap mengesahkan pembentukan Bank Tanah melalui UU Cipta Kerja," ucapnya.

Pihaknya khawatir jutaan hektar tanah masyarakat terancam diambil alih dan dikuasai sepihak oleh badan baru Bank Tanah sebagai jalan menyimpang untuk memenuhi kebutuhan tanah investor dan badan usaha besar. Kehadiran Bank Tanah dengan kewenangan dan fungsi yang luar biasa luas dan kuat (super body), baik fungsi privat maupun publik, tidak dilengkapi dengan pengawasan yang ketat dan terbuka.

"Ini berpotensi melahirkan praktik-praktik yang sarat conflict of interest antara kepentingan privat-publik, kepentingan profit-non profit, kepentingan rakyat dengan kepentingan elit bisnis-penguasa," ungkapnya.

Dewi menilai bahwa Bank Tanah hanya akan berfungsi sebagai lembaga penjamin ketersediaan tanah bagi perusahaan dan pemilik modal. Sebab, 99% pasal di dalamnya dibuat untuk melayani pengusaha, bahkan dapat menjadi badan untuk memutihkan tanah-tanah konsesi perusahaan yang bermasalah, seperti beroperasi tanpa izin/hak atas tanah, izin/HGU kadaluarsa, tanah terlantar, hingga wilayah konflik agraria.

"Bahkan dapat menjadi cara untuk melegalkan hak atas tanah yang diterbitkan dengan cara-cara koruptif dan kolutif, melegalkan praktik spekulan tanah ala pemerintah, menyuburkan mafia tanah," jelasnya.

Ia mendesak agar MA dapat menghentikan operasi ilegal Bank Tanah dengan menerima dan mengabulkan gugatan ini sepenuhnya. Dalam hal ini, MA perlu mencermati pelanggaran yang dilakukan Pemerintah dalam PP 64/2021 terhadap Putusan MK 91 dan UUPA 1960. "Penting bagi MA untuk mempertimbangkan ancaman dan dampak lebih luas perampasan tanah masyarakat serta monopoli tanah oleh swasta akibat pelaksanaan Bank Tanah yang tengah berjalan saat ini. Jelas-jelas pembentukan Bank Tanah yang menempatkan tanah sebagai barang komoditas semata telah mengkhianati cita-cita kemerdekaan Bangsa, Konstitusi dan UUPA 1960 yang menghendaki agar bumi, air dan kekayaan alam diatur, dijaga dan dipergunakan sebesar-besar bagi kemakmuran serta kebahagiaan rakyat Indonesia," pungkasnya.

162