Home Ekonomi Partai Buruh Setuju Produk Perpu, Tapi Menolak Isinya. Kok Bisa?

Partai Buruh Setuju Produk Perpu, Tapi Menolak Isinya. Kok Bisa?

Jakarta, Gatra.com - Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Buruh mengaku setuju dengan bentuk produk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) terkait Omnibus Law Cipta Kerja. Kendati menyetujui bentuk produknya, mereka menegaskan tetap menolak isi dari Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

Penolakan isi dari Perpu Cipta Kerja tersebut akan dibawa dalam rencana aksi unjuk rasa besar-besaran yang akan dihadiri oleh sekitar 10 ribu buruh dari berbagai elemen di depan Istana Negara di Jakarta pada Sabtu (14/1) mendatang.

Para buruh menolak sejumlah pasal tentang ketenagakerjaan di dalam Perpu Cipta Kerja yang dianggap tidak mengakomodir kepentingan dan kesejahteraan buruh.

Baca Juga: Perppu Ciptaker Telanjur Terbit, Minta Pemerintah Optimalkan Investasi atau Tinjau Ulang!

Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, mengatakan ada sejumlah alasan mengapa para buruh menyetujui produk kebijakan berupa Perpu terkait Cipta Kerja, salah satunya karena dianggap cepat, dan karenanya, tidak perlu melalui Pansus Baleg Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

"Karena mosi tidak percaya kepada DPR. Sudah sejak dari awal DPR dalam pembahasan UU Cipta Kerja di tahun 2022 tersebut hanya akal-akalan dan penuh kebohongan," ujar Said Iqbal dalam konferensi pers, Rabu (11/1).

Para buruh menilai DPR minim melibatkan publik dalam penyusunan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Menurutnya, hal itu terbukti dengan hasil putusan Mahkamah Konstitusi yang menyebut UU Cipta Kerja tidak melibatkan partisipasi yang berarti dari masyarakat.

Baca Juga: PKS Prihatin, Lagi-lagi Proyek KCJB Diguyur PMN Rp3,2 Triliun dari APBN

Iqbal bahkan menyebutkan sejumlah UU yang disusun DPR terbukti kerap memantik kontroversi dan penolakan di masyarakat. Mulai dari pengesahan KUHP, UU P2SK, UU KPK, hingga RUU PPRT yang selama 17 tahun urung disahkan.

"Kalau UU yang mengandung air mata itu tidak dibahas cepat, tapi kalau yang sifatnya mata air mereka (DPR) kejar tayang," Said berkelakar.

Adapun ihwal penolakan isi dari Perpu Cipta Kerja dari para buruh dan masyarakat, kata Said Iqbal, menjadi ujian bagi DPR. Ia menduga bagaimana nantinya sikap DPR terhadap Perpu Cipta Kerja, akankah ikut menolak atau justru malah mengesahkan.

Baca Juga: Tolak Isi Perpu Cipta Kerja, 10 Ribu Buruh Bakal Geruduk Istana Sabtu Mendatang

"Kalau DPR-nya mau dipercaya lagi, tolak dong Perpu-nya. Tapi kalau DPR menerima Perpu, ya, berarti kita sudah benar dalam mosi tidak percaya terhadap DPR," tuturnya.

Said Iqbal menambahkan, sedikitnya ada sembilan isu yang menjadi penolakan buruh di dalam isi Perpu Cipta Kerja, antara lain terkait upah minimum, outsourcing, pesangon, karyawan kontrak (PKWT), PHK, pengaturan cuti, pengaturan jam kerja, tenaga kerja asing (TKA), dan hukum pidana. Empat di antaranya yang dinilai sangat krusial, yaitu formula penghitungan upah minimum, pengaturan outsourcing, pesangon, aturan karyawan kontrak.

Iqbal menjelaskan, dalam Perpu Cipta Kerja buruh menolak isi pasal 88D dan 88F soal penghitungan upah minimum. Beleid itu menetapkan formula penghitungan upah minimum meliput penjumlahan variabel pertumbuhan ekonomi dan inflasi dan dikalikan dengan indeks tertentu. "Indonesia kembali lagi pada rezim upah murah. Upah minimum Indonesia lebih rendah dari Vietnam dan Malaysia," tuturnya.

Baca Juga: Begini Jurus Kemenkop UKM Kejar Target Bebas Kemiskinan Ekstrem di 2024

Terkait outsourcing, buruh mempersoalkan Pasal 64 dan 66 Perppu Cipta Kerja yang dianggap tidak memberi batasan jelas ihwal penggunaan tenaga outsourcing. Para buruh mendesak agar aturan outsourcing kembali pada UU Nomor 13 Tahun 2003 yang dianggap lebih tegas dalam membatasi jenis pekerjaan yang diperbolehkan menggunakan tenaga outsourcing.

Selanjutnya, ihwal pesangon, para buruh juga menentang pengaturannya di dalam Perpu Cipta Kerja karena dianggap telah membatasi hak buruh. Pasalnya, di dalam Perpu, setiap pegawai yang terkena PHK bisa mendapat pesangon dan uang penghargaan dari perusahaan, atau hanya mendapatkan salah satunya sesuai dengan perjanjian yang disepakati.

Beleid itu juga mengatur uang pesangon yang bisa diterima buruh, yakni maksimal sembilan kali dari upah bulanan untuk masa kerja delapan tahun. Karena itu, mereka menuntut aturan pesangon kembali merujuk ke UU Nomor 13 Tahun 2003. "Di Perpu uang penghargaan masa kerja yang 15% itu dihapus, kita buruh kena pesangon jadi kecil," jelasnya.

Adapun soal pekerja kontrak (PKWT), para buruh menentang aturan dalam Perpu karena dianggap mengizinkan swasta sewenang-wenang mengulang kontrak kerja karyawan. "Kalau tidak ada periode kontrak, setahun kerja dipecat, ulang lagi kontraknya, dipecat lagi. Negara di mana?," imbuhnya.

185